Dilema Ketahanan Bangunan Perumahan Babel

Badan Pusat Statistik (BPS) mengklasifikasikan penggunaan atap asbes termasuk ke dalam hunian tidak layak. Sejak tahun 2019, untuk mengklasifikasikan hunian/rumah layak huni BPS mengadopsi dari United Nation. Dari 4 klasifikasi, ketahanan bangunan jadi salah satu syarat hunian/rumah layak huni. ketahanan bangunan (durable housing) artinya atap terluas berupa beton/ genteng/ seng/ kayu/ sirap; kemudian dinding terluas berupa tembok/ plesteran anyaman bambu/kawat, kayu/papan dan batang kayu; dan lantai terluas berupa marmer/granit/keramik dan sejenisnya. Lebih dalam lagi, jika salah satu indikator pembentuk tersebut nilainya rendah maka kriteria ketahanan bangunan yang terbentuk akan rendah juga. Oleh karena itu penggunaan asbes sebagai atap rumah tidak masuk dalam prasyarat ketahanan bangunan untuk rumah layak huni. Continue reading →

Waspada Konsumsi “Junk Food”!

Tanggal 25 Januari diperingati sebagai hari gizi nasional. Adanya hari gizi tersebut setidaknya menorehkan pertanyaan “bagaimana perkembangan gizi anak-anak di Indonesia?”. Hal ini patut menjadi pertanyaan mengingat Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah penduduk kurang gizi tertinggi di Kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 2019-2021, estimasi rata-rata jumlah penduduk kurang gizi di Indonesia mencapai 17,7 juta orang, jauh meninggalkan negara asia tenggara lainnya dengan rata-rata jumlah penduduk di bawah enam juta orang (Katadata, 2021). Bahkan, berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia, prevalensi stunting atau gizi buruk di Indonesia saat ini mencapai 24,4 persen. Angka tersebut jauh dari yang ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebesar 14 persen. Hal ini menunjukkan bahwa “gizi buruk” masih menjadi polemik yang melanda anak-anak di Indonesia saat ini.

Berbicara masalah gizi, erat kaitannya dengan asupan makanan sehat. Makanan sehat dan bergizi sangat diperlukan untuk mengoptimalkan  tumbuh kembang anak. Selain itu, asupan makanan sehat juga diperlukan untuk menjaga tubuh dari berbagai penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung, diabetes dan kanker. Namun terkadang, orangtua memberikan makanan cepat saji atau yang lebih dikenal dengan istilah “junk food” sebagai alternatif makanan karena alasan kepraktisannya. Padahal, meskipun enak dan nikmat di lidah, mengonsumsi “junk food” terlalu sering dapat membahayakan kesehatan tubuh.

Tidak hanya orang dewasa, anak-anak saat ini kerap memilih untuk mengonsumsi “junk food” dibandingkan alternatif makanan sehat lainnya. Berdasarkan penelitian yang dipimpin oleh Professor Efrat Monsonego-Ornan dan Dr. Janna Zaretsky dalam jurnalnya Bone Research, sebanyak 70 persen dari konsumsi kalori anak-anak dalam penelitian yang dilakukan berasal dari makanan “junk food”. Anak-anak dan remaja di Amerika sejauh ini mengonsumsi “junk food” secara teratur sejauh 50 persen setiap harinya. Kasus ini dijumpai tidak hanya di luar negeri, tetapi juga di Indonesi. Berdasarkan data Kementerian Pertanian Indonesia, “junk food” menyumbang 28 persen dari semua kalori yang dikonsumsi oleh penduduk perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk di Indonesia khususnya di perkotaan menyukai “junk food” sebagai makanan alternatif untuk dikonsumsi.

Pada dasarnya “junk food” adalah istilah untuk mendeskripsikan makanan yang kandungan kalori, lemak, gula, garamnya tinggi tetapi kandungan vitamin dan seratnya rendah. Berbicara mengenai “junk food” erat kaitannya dengan jajanan instan yang disukai anak-anak, salah satunya adalah cikingebul atau cikibul. Dengan bentuk makanan berwarna-warni, ciki asap ini mampu menarik perhatian anak-anak dan remaja. Namun, jajanan instan yang ciamik tersebut ternyata tidak sehat dan dapat membahayakan tubuh. Jenis panganan ringan dengan kadar nitrogen cair yang tinggi tersebut terbukti mampu membahayakan nyawa anak-anak. Dikutip dari Serambi News, seorang bocah di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur terbakar karena jajanan viral ini. Bahkan, beberapa waktu lalu jajanan tersebut mampu membuat sejumlah anak sakit dan dilarikan ke rumah sakit hingga kebocoran lambung. Makanan ringan yang diberi nitrogen cair agar mengeluarkan asap tersebut terbukti telah memakan korban yang menghebohkan jagad media sosial. Tak tanggung-tanggung, tubuh mungil korban yang masih anak-anak tersebut tampak dibalut perban mulai dari wajah, leher, dan tangannya.

Selain membahayakan tubuh, “junk food” juga bukan termasuk makanan bergizi yang memicu berbagai penyakit yang dapat membahayakan kesehatan tubuh. Hadirnya “junk food” yang semakin marak saat ini membuat banyak anak di usia remaja sudah terkena obesitas dan diabetes melitus tipe 2. Bahkan sudah banyak anak remaja yang menderita hipertensi. Padahal penyakit tersebut biasanya diderita saat seseorang memasuki usia penuaan (ageing).

Junk food” memang tidak bisa ditoleransi, karena industri akan selalu berinovasi. Oleh karenanya, makanan alami sebisa mungkin harus mulai kembali digalakkan di tingkat rumah tangga, karena kontrol utama dalam pemberian gizi anak berada pada orangtua di rumah. Terlebih dengan adanya kejadian terkait chiki berasap nitrogen (chiki ngebul), yang beberapa waktu lalu membuat sejumlah anak luka-luka bahkan dilarikan ke rumah sakit hingga kebocoran lambung.

Untuk itu, butuh perhatian dari orangtua, masyarakat dan pemerintah agar menjadikan asupan makanan sehat sebagai alarm bagi anak-anaknya. Hal ini penting untuk menjaga asupan keseimbangan gizi sehingga tidak memicu terjadinya kekurangan gizi maupun obesitas. Setidaknya “junk food” tidak menjadi alternatif makanan yang dikonsumsi untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan dari konsumsi makanan tersebut. Untuk itu, waspadalah dalam mengkonsumsi “junk food”! Mari kita dukung tumbuh kembang anak dengan mengoptimalkan asupan makanan yang sehat dan bergizi!(*)

Pendidikan yang Tinggi, Upaya Menekan Angka Kematian Ibu

Nyatanya, hidup atau mati memang adalah sebuah pilihan bagi seorang ibu dalam melahirkan buah hatinya ke dunia, Namun, sangat disayangkan, kasus kematian ibu masih menjadi momok hingga saat ini. Bahkan, kasus kematian ibu  di Indonesia meningkat pada tahun 2021.  Lantas apakah masih ada peluang untuk memperkecil peluang bertambahnya kasus kematian ibu ke depannya?

Meningkatnya Kasus Kematian Ibu

Angka kematian ibu yang tinggi merupakan permasalahan kesehatan di Indonesia. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, sebanyak 7.389 ibu di Indonesia meninggal pada tahun 2021. Jumlah tersebut meningkat 59,69 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 4.627 orang.

Tingginya jumlah kematian ibu saat melahirkan pada tahun lalu disebabkan oleh tertularnya virus Covid-19 yang mencapai 2.982 jiwa. Terdapat pula 1.320 ibu meninggal karena pendarahan, sebanyak 1.077 meninggal karena hipertensi dalam kehamilan dan sebanyak 335 meninggal karena penyakit jantung. Selain itu, terdapat pula 207 ibu meninggal ketika melahirkan karena infeksi, sebanyak 80 meninggal akibat gangguan metabolik, sebanyak 65 meninggal karena gangguan sisistem peredarah darah, sebanyak 14 meninggal karena abortus, dan terdapat 1.309 ibu meninggal karen lain-lain.

Indonesia saat ini menduduki peringkat ketiga sebagai negara dengan Angka Kematian Ibu (AKI) tertinggi di Kawasan negara ASEAN pada tahun 2021 (World Bank, 2021). Dibanding negara lainnya, Indonesia berada di urutan ketiga negara dengan AKI tertinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya setelah Myanmar dan Laos. Beberapa faktor yang berkontribusi pada tingginya resiko AKI antara lain adalah prevalensi alat kontrasepsi dalam komunitas masyarakat yang masih rendah, jumlah persalinan lebih dari empat kali, kemiskinan, rendahnya populasi atau jumlah rumah sakit, akses ke dukun bersalin tradisional yang lebih tinggi dan sulitnya akses layanan kesehatan, dan jumlah dokter yang bekerja di pusat layanan kesehatan terdekat. Tingginya AKI saat ini merupakan tantangan yang harus dihadapi Indonesia sehingga menjadi salah satu komitmen prioritas nasional, yaitu mengakhiri kematian ibu saat hamil dan melahirkan (Susiana, 2019).

Fakta Angka Kematian Ibu di Indonesia

Angka Kematian Ibu atau AKI merupakan jumlah seluruh kematian selama periode kehamilan, persalinan, atau nifas di setiap 100.000 kasus kelahiran hidup. Namun penyebab kematian tersebut tidak termasuk yang disebabkan oleh kecelakaan atau terjatuh.

Selama puluhan tahun belakangan data AKI menurun dari 390 pada tahun 1991 menjadi 230 pada tahun 2020. Walaupun begitu, penurunan tersebut belum mencapai target Millennium Development Goals (MDGs) dan Sustainability Development Goals (SDGs). Di dalamnya terdapat berbagai point yang telah disepakati oleh para pemimpin dunia untuk menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik. Target AKI menurut MDGs yaitu 102, sedangkan SDGs yaitu kurang dari 70. Berdasarkan Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI, proyeksi AKI pada tahun 2030 yaitu sebesar 109-110 jika dilihat dari tren yang diambil dari data sejak tahun 2000. Angka tersebut tentunya belum memenuhi target yang diinginkan. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia memerlukan kebijakan extra-ordinary untuk menekan AKI.

 

Pendidikan dan Upaya Penurunan AKI

Dalam rangka upaya penurunan AKI, disusun suatu gerakan yang dinamakan Safe Motherhood. Safe motherhood merupakan upaya untuk menyelamatkan wanita agar kehamilan dan persalinannya sehat dan aman, serta melahirkan bayi yang sehat. Salah satu dari empat pilar Safe Motherhood adalah penolong persalinan dengan tenaga kesehatan.

Persalinan yang dilakukan di fasilitas kesehatan  nyatanya merupakan determinan yang memengaruhi kematian ibu. Hasil Susenas Maret 2020 menunjukkan bahwa sebanyak 88 dari 100 ibu melahirkan anak lahir hidup dalam dua tahun terakhir dan anak lahir hidup yang terakhir dilahirkan di fasilitas kesehatan (BPS, 2020). Persentase ini menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun 2018 dan 2019.

Pendidikan ternyata turut serta berpengaruh dalam menekan kematian ibu. Pada tahun 2020, persentase ibu dengan latar belakang pendidikan terakhir di atas Sekolah Menengah Atas (SMA) yang melahirkan anak lahir hidup serta ditolong oleh tenaga kesehatan jauh lebih tinggi dibandingkan tamatan SMA ke bawah. Persentase ibu yang melahirkan anak lahir hidup dengan latar belakang pendidikan SMA ke atas berkissar antara 97,72 persen sampai 99,34 persen. Sementara itu, persentase ibu yang melahirkan anak lahir hidup dengan latar belakang pendidikan SMA ke bawah berkisar antara 81,59 sampai 95,32 persen. Hal ini menegaskan bahwa semakin tinggi pendidikan yang ditamatkan oleh seorang ibu, maka semakin tinggi pula ibu yang melahirkan anak lahir hidup serta ditolong oleh tenaga kesehatan (BPS, 2020). Hal ini dikarenakan ibu yang berpendidikan tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatannya dan pengambilan keputusan yang terkait kegawatdaruratan kesehatan pun akan lebih cepat (Fibriana, 2007).

Pendidikan tinggi nyatanya juga penting bagi seorang ibu. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh, maka semakin kritis pola pikir yang terbentuk. Pola pikir yang baik akan membuat seorang ibu dapat berpikir kritis terhadap sesuatu dari berbagai sudut pandang, sehingga mampu memutuskan segala sesuatu dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu, pentingnya peran ibu sejak dini untuk mengedukasi pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya, terutama anak perempuan yang merupakan cikal bakal seorang ibu masa depan. Mari bersama bantu pemerintah menekan Angka Kematian Ibu, dengan mengedukasi pentingnya pendidikan bagi anak perempuan sejak dini! (*)

Euforia Berdamai Dengan COVID-19

Setelah 2 tahun berdampingan dengan COVID-19, akhirnya, saat ini masyarakat Babel sudah merasakan euforia tersendiri setelah 2 tahun lamanya berdamai dengan COVID-19. Tidak terasa, sudah 2 tahun aktivitas masyarakat di Babel berdampingan dengan COVID-19 yang dicirikan dengan ketatnya pembatasan berbagai macam aktivitas masyarakat saat itu. Sebelumnya pada 1 Juni 2020 telah diberlakukan new normal di Babel yang diiringi dengan penetapan Peraturan Daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Nomor 10 Tahun 2020 tentang Adaptasi Kebiasaan Baru Dalam Pencegahan dan Pengendalian “Corona Virus Disease”. Selanjutnya, protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan dengan sabun seolah menjadi gaya hidup “baru” yang diterapkan untuk mengantisipasi penularan penyakit yang ditimbulkan oleh Virus COVID-19. Namun, bisa dibilang saat ini, masyarakat Babel sudah merasakan euforia “berdamai” dengan COVID-19. Mengapa demikian? Continue reading →