Tanggal 25 Januari diperingati sebagai hari gizi nasional. Adanya hari gizi tersebut setidaknya menorehkan pertanyaan “bagaimana perkembangan gizi anak-anak di Indonesia?”. Hal ini patut menjadi pertanyaan mengingat Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah penduduk kurang gizi tertinggi di Kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 2019-2021, estimasi rata-rata jumlah penduduk kurang gizi di Indonesia mencapai 17,7 juta orang, jauh meninggalkan negara asia tenggara lainnya dengan rata-rata jumlah penduduk di bawah enam juta orang (Katadata, 2021). Bahkan, berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia, prevalensi stunting atau gizi buruk di Indonesia saat ini mencapai 24,4 persen. Angka tersebut jauh dari yang ditargetkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebesar 14 persen. Hal ini menunjukkan bahwa “gizi buruk” masih menjadi polemik yang melanda anak-anak di Indonesia saat ini.
Berbicara masalah gizi, erat kaitannya dengan asupan makanan sehat. Makanan sehat dan bergizi sangat diperlukan untuk mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Selain itu, asupan makanan sehat juga diperlukan untuk menjaga tubuh dari berbagai penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung, diabetes dan kanker. Namun terkadang, orangtua memberikan makanan cepat saji atau yang lebih dikenal dengan istilah “junk food” sebagai alternatif makanan karena alasan kepraktisannya. Padahal, meskipun enak dan nikmat di lidah, mengonsumsi “junk food” terlalu sering dapat membahayakan kesehatan tubuh.
Tidak hanya orang dewasa, anak-anak saat ini kerap memilih untuk mengonsumsi “junk food” dibandingkan alternatif makanan sehat lainnya. Berdasarkan penelitian yang dipimpin oleh Professor Efrat Monsonego-Ornan dan Dr. Janna Zaretsky dalam jurnalnya Bone Research, sebanyak 70 persen dari konsumsi kalori anak-anak dalam penelitian yang dilakukan berasal dari makanan “junk food”. Anak-anak dan remaja di Amerika sejauh ini mengonsumsi “junk food” secara teratur sejauh 50 persen setiap harinya. Kasus ini dijumpai tidak hanya di luar negeri, tetapi juga di Indonesi. Berdasarkan data Kementerian Pertanian Indonesia, “junk food” menyumbang 28 persen dari semua kalori yang dikonsumsi oleh penduduk perkotaan. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk di Indonesia khususnya di perkotaan menyukai “junk food” sebagai makanan alternatif untuk dikonsumsi.
Pada dasarnya “junk food” adalah istilah untuk mendeskripsikan makanan yang kandungan kalori, lemak, gula, garamnya tinggi tetapi kandungan vitamin dan seratnya rendah. Berbicara mengenai “junk food” erat kaitannya dengan jajanan instan yang disukai anak-anak, salah satunya adalah cikingebul atau cikibul. Dengan bentuk makanan berwarna-warni, ciki asap ini mampu menarik perhatian anak-anak dan remaja. Namun, jajanan instan yang ciamik tersebut ternyata tidak sehat dan dapat membahayakan tubuh. Jenis panganan ringan dengan kadar nitrogen cair yang tinggi tersebut terbukti mampu membahayakan nyawa anak-anak. Dikutip dari Serambi News, seorang bocah di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur terbakar karena jajanan viral ini. Bahkan, beberapa waktu lalu jajanan tersebut mampu membuat sejumlah anak sakit dan dilarikan ke rumah sakit hingga kebocoran lambung. Makanan ringan yang diberi nitrogen cair agar mengeluarkan asap tersebut terbukti telah memakan korban yang menghebohkan jagad media sosial. Tak tanggung-tanggung, tubuh mungil korban yang masih anak-anak tersebut tampak dibalut perban mulai dari wajah, leher, dan tangannya.
Selain membahayakan tubuh, “junk food” juga bukan termasuk makanan bergizi yang memicu berbagai penyakit yang dapat membahayakan kesehatan tubuh. Hadirnya “junk food” yang semakin marak saat ini membuat banyak anak di usia remaja sudah terkena obesitas dan diabetes melitus tipe 2. Bahkan sudah banyak anak remaja yang menderita hipertensi. Padahal penyakit tersebut biasanya diderita saat seseorang memasuki usia penuaan (ageing).
“Junk food” memang tidak bisa ditoleransi, karena industri akan selalu berinovasi. Oleh karenanya, makanan alami sebisa mungkin harus mulai kembali digalakkan di tingkat rumah tangga, karena kontrol utama dalam pemberian gizi anak berada pada orangtua di rumah. Terlebih dengan adanya kejadian terkait chiki berasap nitrogen (chiki ngebul), yang beberapa waktu lalu membuat sejumlah anak luka-luka bahkan dilarikan ke rumah sakit hingga kebocoran lambung.
Untuk itu, butuh perhatian dari orangtua, masyarakat dan pemerintah agar menjadikan asupan makanan sehat sebagai alarm bagi anak-anaknya. Hal ini penting untuk menjaga asupan keseimbangan gizi sehingga tidak memicu terjadinya kekurangan gizi maupun obesitas. Setidaknya “junk food” tidak menjadi alternatif makanan yang dikonsumsi untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan dari konsumsi makanan tersebut. Untuk itu, waspadalah dalam mengkonsumsi “junk food”! Mari kita dukung tumbuh kembang anak dengan mengoptimalkan asupan makanan yang sehat dan bergizi!(*)
Statistisi Ahli Muda
BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung