Badan Pusat Statistik Provinsi Kepualuan Bangka Belitung (read : BPS Babel) melakukan rilis Berita Resmi Statistik dengan topik Profil Kemiskinan dan Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada Senin, 16 Januari 2023. Dari rilis tersebut diketahui bahwa Gini Ratio penduduk Babel pada September 2022 sebesar 0.255. Menurut Tatsumi Oshima (1976), koefisien Gini Ratio dibawah 0,3 merupakan kategori ketimpangan rendah. Artinya ketimpangan pengeluaran penduduk Babel cukup rendah yang mengindikasikan distribusi pengeluaran masyarakat yang merata dan itu baik. Jika dibandingkan dengan Gini Ratio se-Sumatera, Babel memiliki Gini Ratio paling rendah, bahkan secara nasional Gini Ratio Babel merupakan gini ratio terendah. Dengan kata lain Babel adalah daerah dengan kondisi distribusi pengeluaran terbaik di Indonesia.
Koefisien Gini adalah ukuran statistik sederhana yang acap kali digunakan untuk menunjukkan distribusi pengeluaran per kapita penduduk suatu daerah. Koefisien Gini digunakan sebagai tolak ukur ketimpangan. Semakin Koefisien Gini bernilai 0 (nol) menunjukkan semakin mendekati kesetaraan sempurna yang berarti seluruh penduduk memiliki pengeluaran per kapita yang sama. Dalam kondisi ini tak mengenal si Kaya dan si Miskin, yang ada hanya keseragaman atau homogenisme saja dan dalam dunia ekonomi dikenal dengan paham komunisme. Sedangkan Koefisien Gini bernilai 1 (satu) menunjukkan ketimpangan sempurna yang berarti hanya satu penduduk saja yang memiliki pengeluaran per kapita dan yang lainnya tidak sama sekali. Dengan kata lain di sini ada yang menjadi sultan dan yang lain hanyalah remah-remah rakyat jelata. Dalam paham ekonomi kondisi seperti ini lebih condong ke paham kapitalisme. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi Koefisien Gini, semakin tinggi tingkat ketimpangan suatu daerah. Jika melihat fakta awal data BPS perihal gini ratio Babel maka Bumi Serumpun Sebalai ini lebih mendekati paham komunisme.
Komunisme adalah sebuah upaya panjang perjuangan yang menjunjung tinggi kemerataan kepemilikan modal, pendapatan yang berujung pada pengeluaran. Bermula pada abad ke-19, seiring dengan berkembangnya revolusi industri yang pertama, pabrik dan buruh terus bertambah. Orang yang dulunya bekerja sebagai pengusaha kecil-kecilan atau yang sekarang dikenal dengan UMKM seprti tukang pembuat sepatu, penjahit, dan toko kelontong, bertransfomrasi menjadi pekerja atau buruh.
Mereka tidak mungkin melanjutkan usaha mereka yang dulu. Produk buatan pabrik jauh lebih murah dan cepat untuk dibuat. Selain itu, mereka juga tidak punya modal untuk membeli alat atau teknologi pabrik. Ribuan deretan manusia bekerja dan asap abu-abu mengepul dari gerbong pabrik, menandakan betapa sibuk dan suburnya dunia industri kala itu. Sudah barang pasti produk rumahan kalah saing dengan produk pabrik.
Terkadang semua tidak berjalan sesuai rencana. Revolusi industri ini tidak berpihak kepada kaum buruh yang susah payah bekerja dengan jam kerja yang tidak rasional.Selain upah yang tak seberapa, keamanan para pekerja juga tidak terjaga. Singkatnya, kaum buruh ini diperas oleh orang-orang yang berkuasa akan modal dan peralatan industri yang ada.
Alhasil, kaum pekerja ini tidak punya banyak pilihan. Jika berhenti bekerja, tuan tanah dan rentenir sudah menunggu bayaran. Selain itu, para pekerja ini juga tidak punya modal maupun alat untuk memulai usaha sendiri. Jadi, mau tidak mau, mereka terperangkap dalam eksploitasi para pemegang modal. Situasi ini mendorong tercetusnya sebuah pemahaman atau pemikiran yang dikenal sebagai marxisme, yang menjadi dasar dari komunisme. Oleh karena itu paham ini sebenarnya memiliki tujuan yang sangat mulia yakni membuat rakyat sejahtera. Iya, harapan dari peniadaan kelas dan perataan kepemilikan sebenarnya agar semua rakyat bisa merasa sama dan sejahtera. Tentu seketika melihat uraian tadi langsung berada di benak kita akan terbayang ekonomi Tiongkok atau Uni Soviet zaman dahulu dengan simbol palu aritnya. Tapi kita hentikan imajinasi itu berhenti di sana, dan berandai-andai jika sistem ini kejadian di Indonesia apalagi Babel.
Tentu menurut hemat penulis bukan paham komunis original yang dimaksud dalam tulisan ini, melainkan nilai inti dari edologi tersebut yaitu, mengenai kesetaraan dalam hal perekonomian dan tidak adanya kelas-kelas tertentu yang menonjol. Dengan kata lain seluruh masyarakat memiliki kesempatan yang sama di mata ekonomi. Apalagi Indonesia, terutama Babel yang terkenal akan keberagamannya. Memaksakan ideologi yang saklek akan keseragaman, sangatlah tidak tepat di bumi yang menjunjung keberagaman.
Terlebih, Babel memiliki budaya yang saling menghormati dan saling berbagi dalam berbagai hal. Ini bisa dilihat dari kegiatan yang masyhur oleh masyarakat Babel yaitu Nganggung. Nganggung adalah suatu kegiatan atau aktivitas dimana sekelompok orang berbondong-bondong membawa dulang yang isinya sudah disiapkan dari rumah masing-masing baik itu kue-kue, buah-buahan, makanan beserta lauk pauknya dan ditutup menggunakan tudung saji.Tradisi ini memiliki makna keagamaan, saling tolong menolong, saling menghormati dan berbagi sesama. Bisa jadi ini merupakan pedoman hidup masyarakat Babel dalam perekonomiannya, sehingga secara tidak langsung membentuk rendahnya gini ratio Babel dari tahun ke tahun. Local Pride.
Statistisi Ahli Pertama
BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung