Angka kemiskinan suatu daerah menjadi tolak ukur praktis tentang kesejahteraan suatu daerah. Wajar saja jika pimpinan daerah akan melakukan segala upaya demi menurunkan angka kemiskinan di wilayah tersebut. Oleh karena itu pemerintah Provinsi Kepualauan Bangka Belitung (read: Babel) seolah tanpa lelah mencanangkan program pengentasan kemiskinan dari masa ke masa.
Angka Kemiskinan Babel memang perlu untuk mendapatkan perhatian lebih. Hal ini dikarenakan Babel menjadi daerah dengan Garis Kemiskinan (GK) perkapita tertinggi di Indonesia dengan catatan 853.226 Rupiah. Artinya biaya yang dibutuhkan untuk dikategorikan menjadi tidak miskin sangatlah jauh panggang dari api. Tentu saja factor mahalnya harga barang-barang pemenuhan kebutuhan makanan dan non-makanan menjadi kambing hitam dari fenomena ini. Benar saja jika pada rilis data kemiskinan oleh Badan Pusat Statistik kemarin menyatakan jika terjadi peningkatan jumalh penduduk miskin pada September 2022 dibandingkan Maret di tahun yang sama. Setidaknya ada tambahan 2,9 ribu jiwa yang masuk ke dalam jurang kemiskinan berdasarkan penghitungan BPS ini.
Banyak kebijakan yang dikeluarkan untuk mengangkat daya beli masyarakat dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau sejenisnya kepada warga miskin menjadi opsi yang acap kali diambil. Keuntungan dari kebijakan ini tentu warga miskin dapat dengan dinamis membelanjakan BLT sesuai dengan kebutuhan yang mereka inginkan. Namun perlu menjadi perhatian karena pemberian BLT bukan solusi jangka panjang. Hal ini dikarenakan setidaknya karena dua alasan. Alasan yang pertama adalah bias target sasaran penerima dana BLT yang tidak selalu tepat, dapat menimbulkan kegaduhan sosial. Alih-alih menyelesaikan permasalahan, BLT justru menjadi perpecahan antara perangkat daerah yang diamanahi dengan masyarakat yang merasa miskin namun tidak mendapatkan haknya atas BLT. Alasan yang kedua adalah BLT bisa memicu inflasi tinggi. Sederha saja, ketika warga miskin telah memiliki uang yang cukup untuk dibelanjakan, namun barang yang diinginkan terbatas. Tentu saja warga akan berlomba-lomba dengan harga tertinggi untuk mendapatkan barang yang terbatas tersebut. Jika produksi tetap konstan namun permintaan tinggi akan menyebabkan kenaikan harga yang tinggi pula atau dalam bahasa teori ekonomi disebut dengan high demand causes high price. Lalu bagaimanakah upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kemiskinan khususnya di Babel?
Ada beberapa langkah bijak menurut pandangan penulis yang dapat diambil jika kita lihat dari sudut pandang statistik bagaimana penghitungan angka kemiskinan ini. Langkah pertama, Garis Kemiskinan (GK) yang dijadikan tolak ukur penentuan penduduk miskin atau tidak, menggunakan pendekatan pemenuhan kebutuhan makanan dan non-makanan. GK makanan memberikan batasan minimal perhari per orang wajib mengkonsumsi setidaknya 2100 kkal agar tidak dikategorikan sebagai warga miskin. Oleh karena itu diperlukan adanya kemudahan bagi warga dalam mengkonsumsi makanan yang kaya akan kalori. Makanan yang lazim dan syarat akan kalori tinggi adalah nasi dimana satu piring nasi bisa mencapai 300 kkal. Dengan memberikan bantuan pangan non-tunai khususnya untuk kebutuhan beras dapat memastikan seorang warga miskin setidaknya dapat memenuhi setengah dari kebutuhan kalori minimal jika 3 piring nasi dapat disantapnya setiap hari. Untuk 1000 kalori sisanya dapat dipenuhi dengan konsumsi lauk-pauk dan makanan ringan secukupnya.
Langkah kedua, penghitungan kemiskinan sejak tahun 2015 dihitung pada bulan Maret. Dalam periode penghitungannya dihitung juga konsumsi bahan makanan termasuk konsumsi makanan yang berasal dari pemerintah baik itu raskin atau bantuan pangan non-tunai lainnya. Oleh karena itu, perlu adanya kontrol yang lebih ketat dari pihak eksekutif di beberapa bulan sebelum bulan Maret terhadap pendistribusian bantuan pangan non-tunai. Hal ini untuk memastikan secara real bahwa warga miskin dapat memenuhi kebutuhan pangannya khususnya di akhir tahun dan awal tahun sebelum periode pendataan. Praktis pada saat petugas pendataan datang, warga dapat dipastikan telah mengkonsumsi bahan makanan pokok yang telah pemerintah salurkan. Dengan terpenuhinya konsumsi, maka warga terlepas dari jerat kemiskinan. Memang sedikit nakal namun teknik ini banyak akal dan dengan penuh perhitungan yang matang.
Langkah ketiga, mengkonversikan BLT ke dalam bentuk paket bantuan barang jadi untuk kebutuhan non-makanan menjadi salah satu jurus jitu untuk menurunkan angka kemiskinan. Banyak orang menanyakan mengapa saat ini kita memerlukan banyak kartu untuk dipegang seperti halnya Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) hingga Kartu Program Keluarga Harapan (PKH). Hal ini sebagai wujud pemerintah dalam mengkonversikan bantuan tunai menajadi bantuan non-tunai yang dapat diakses dengan mudah dan murah. Hal ini perlu langkah agresif dari perangkat daerah.
Akhirnya dari seluruh langkah yang dapat dijadikan solusi pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan, tidak ada langkah yang absolut benar selain peningkatan produksi dan menjaga harga jual barang yang telah diproduksi. Begitu banyak langkah yang dilakukan tidak ada artinya jika kegiatan produksi tidak berkembang sementara di sisi lain kebutuhan pokok akan bertambah seiring dengan pertambahan penduduk yang terus meningkat. Selain itu dukungan dan kerja sama dari pihak eksekutif, legislatif dan rakyat akan mewujudkan sinergi yang nyata dalam menurunkan angka kemiskinan daerah. Kerja cerdas dengan data dapat membuat kerja sama yang terjalin juga semakin efektif. Untuk semua aparatur yang berkecimpungan dalam pengentasan kemiskinan atau pengendalian harga tetap harus menjaga kerja amanah, dan melayani dengan RAMAH. Responsif, Apresiatif, Measurable, Akuntabel dan Harmonis. Vamos !.
s.bps.go.id/coretanadis