Dapatkah Babel Hidup Tanpa Timah?

Opini yang sebelumnya diterbitkan Bangka Pos pada 8 Agustus 2002 menyiratkan secara tidak langsung bahwa Bangka Belitung (Babel) dapat tumbuh tanpa timah. Akankah hal tersebut dapat terjadi mengingat Timah merupakan jantung perekonomian Babel?

Timah, Jantung Perekonomian Babel

Sejatinya, timah saat ini masih menjadi jantung perekonomian Babel. Dalam hal penciptaan nilai tambah perekonomian, lapangan usaha pertimahan baik pertambangan maupun industrinya tetap bertahan menjadi penopang utama perekonomian Babel dengan memberikan kontribusi terbesar terhadap perekonomian Babel sebesar 21,99 persen (BPS, 2022) pada triwulan 2 2022 (April-Juni 2022).

Tidak hanya kontribusinya dalam menyokong perekonomian Babel dari sisi lapangan usaha, timah sebagai komoditas unggulan Babel juga memberikan kontribusi yang besar terhadap aktivitas ekspor luar negeri. Pada triwulan 2 2022, komponen timah sebagai salah satu komoditas unggulan mendorong peningkatan ekspor luar negeri, di balik ekspor luar negeri yang memiliki peranan terbesar kedua terhadap perekonomian Babel dengan kontribusi sebesar 53,76 persen (BPS, 2022).  Bahkan, kontribusi timah terhadap ekspor luar negeri pada periode tersebut lebih besar dibandingkan komoditas nontimah yaitu mencapai 89,80 persen (BPS, 2022).

Selain berkontribusi besar terhadap perekonomian Babel, timah juga menjadi lapangan usaha tumpuan penduduk Babel. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2022 terdapat 153.579 orang (20,32 persen) penduduk Babel yang menggantungkan hidupnya dari pertambangan. Angka ini berada di posisi kedua setelah pertanian, kehutanan, dan perikanan. Besarnya kontribusi timah tersebut dalam membentuk perekonomian Babel serta perannya yang terbilang besar dalam penyerapan tenaga kerja membuat komoditas “timah” hingga saat ini masih menjadi jantung perekonomian Babel.

 

Cadangan Timah Lambat Laun Akan Habis

Timah yang menjadi jantung perekonomian Babel ternyata tidak bisa terus menerus diandalkan. Dalam publikasi Sistem Terintegrasi Neraca Lingkungan dan Ekonomi Indonesia, BPS memperkirakan bahwa sumber daya timah di Indonesia hanya akan bertahan hingga 26 tahun mendatang.

Nyatanya, cadangan timah dari tahun ke tahun memang kian menurun. Cadangan timah pada tahun 2018 di PT Timah sebanyak 415.358 ton, menurun menjadi 327.520 ton pada tahun 2019. Kemudian, cadangan tersebut menurun kembali menjadi 282.312 ton pada tahun 2020. Selanjutnya,  baru ada kenaikan sebanyak 6 persen pada tahun 2021 menjadi 300 ribu ton (Setiawan, 2022). Lantas, dapatkah Babel tumbuh tanpa timah dengan kondisi cadangan timah yang semakin menipis?

Ekspor Timah vs Pertumbuhan Ekonomi

Prestasinya sebagai jantung perekonomian Babel termasuk dari sisi kontribusinya yang tinggi terhadap ekspor, menyebabkan komoditas timah tentunya memegang peranan penting terhadap pertumbuhan ekonomi Babel. Lantas bagaimana peran ekspor timah terhadap pertumbuhan ekonomi Babel jangka pendek dan jangka panjang?

Berdasarkan analisis data sederhana menggunakan data time series dari periode triwulan 1 2020 hingga triwulan 2022, ditemukan bahwa berdasarkan error correction model yang terbentuk, tidak terdapat hubungan jangka pendek antara pertumbuhan ekonomi Babel dan ekspor timah. Dengan tingkat keyakinan 95 persen, ekspor timah tidak berpengaruh signifikan atau hanya berpengaruh kecil terhadap pertumbuhan ekonomi Babel dalam jangka pendek.

 

Membangun Babel Tanpa Timah

Peluang ekspor timah Babel yang berpengaruh kecil terhadap pertumbuhan ekonomi Babel dalam jangka pendek menunjukkan Babel dapat hidup tanpa timah. Hal ini tentunya memberi peluang lapangan usaha atau komoditas lainnya untuk turut berperan menjadi penopang utama perekonomian Babel, termasuk lapangan usaha pertanian. Berdasarkan data PDRB triwulan 2 2022 yang dirilis oleh BPS, lapangan usaha pertanian mampu tumbuh menjadi penopang kedua perekonomian Babel dengan kontribusi sebesar  18,95 persen.

Dari sisi ekspor, komoditas pertanian yaitu kelapa sawit yang selanjutnya diolah menjadi minyak kelapa sawit atau yang lebih dikenal dengan crude palm oil  berperan sebagai penopang utama ekspor nontimah dengan kontribusi sebesar 67,15 persen terhadap ekspor timah triwulan 2 (April-Juni 2022). Namun, sangat disayangkan, adanya kemacetan dalam ekspor kelapa sawit menyebabkan petani tidak bisa menjual sawit hasil produksinya secara maksimal. Minimnya ketersediaan kapal untuk pengiriman ekspor CPO menyebabkan pabrik tidak bisa serta merta menerima produksi sawit petani yang disesuaikan dengan kapasitas tangki.  Hal ini berdampak pada anjloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Pada Juni 2022, harga TBS masih menyentuh angka Rp 3.000,- rupiah per kg. Namun, pada Agustus 2022, harganya turun drastis menjadi Rp 400,- rupiah per kg.

Dibalik problema tersebut, lapangan usaha pertanian dengan kelapa sawit sebagai komoditas utamanya setidaknya bisa menjadi solusi alternatif untuk membangun Babel tanpa timah. Namun, untuk mencapai paradigma tersebut, perlu adanya sinergi antara pemerintah dan stakeholder terkait untuk meningkatkan harga TBS dan melancarkan kembali aktivitas ekspor CPO. Saat ini pemerintah sudah merencanakan untuk berkoordinasi dengan Indonesian National Shipowners Association (INSA) untuk mengatasi permasalahan minimnya ketersediaan kapal angkutan. Selain itu, Pemerintah juga telah menghapus tarif pungutan ekspor CPO dan produk turunannya mulai 18 Juli-31 Agustus 2022 atau selama 1,5 bulan. Tidak hanya itu, pemerintah juga sudah merencanakan solusi strategis untuk mempermudah regulasi ekspor CPO. Harapannya, dengan adanya tindakan dan solusi strategis tersebut, kinerja ekspor CPO dapat membaik serta harga CPO dapat merangkak naik. Dengan demikian perekonomian Babel tidak serta merta  terpaku dengan komoditas timah yang cadangannya semakin menipis (*).

1

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *