Beberapa bulan sebelumnya, media dihebohkan dengan aksi mahasiswa BEM SI di depan Gedung DPR/MPR/DPD RI 11 April 2022 yang sempat menyita perhatian. Ade Armando saat itu hadir, tampil di tengah mendukung mahasiswa seperti seorang pahlawan. Namun naasnya, Ade Armando justru mengalami penganiayaan berat, yaitu babak belur seluruh badan dan ditelanjangi dengan hanya menyisakan “celana dalam.” Bukankah hal ini menunjukkan masih berlakunya budaya main hakim sendiri atau eigenrechting di tengah-tengah masyarakat? Lantas apakah penganiayaan yang berimplikasi dari budaya main hakim sendiri nyatanya masih rentan terjadi di Indonesia?
Indonesia masih rawan dengan tindak kejahatan. Ade Armando merupakan satu dari ribuan kasus kejahatan yang terjadi di Indonesia. Pada tahun 2020, sudah ada 52,43 persen korban kekerasan dalam 12 bulan terakhir yang melaporkan kepada polisi. Jumlah ini meningkat 14,93 persen dibandingkan tahun 2019 (BPS, 2020). Secara keseluruhan, memang jumlah tindak pidana kejahatan yang dialami penduduk di Indonesia mengalami penurunan. Pada tahun 2019, kasus tersebut mencapai 247.218 berkurang dibandingkan tahun 2018 yang hanya mencapai 269.324. Meskipun begitu, masih ada 94 orang penduduk yang berisiko terkena tindak pidana per 100.000 penduduk pada tahun 2020 (BPS, 2020). Hal ini menunjukkan masih adanya peluang penduduk Indonesia menjadi korban tindak pidana kejahatan.
Peristiwa yang menimpa Ade Armando menunjukkan masih rentannya penganiayaan terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Mabes Polri, pada tahun 2018 sebanyak 31.500 kasus penganiayaan terjadi di Indonesia. Selanjutnya, pada tahun 2019, terdapat 30.754 kasus penganiayaan terjadi di Indonesia. Kemudian pada tahun 2020 tercatat sebanyak 28.568 kasus penganiayaan yang terjadi. Meskipun mengalami penurunan jumlah kasus pada tahun 2020, penganiayaan merupakan tindak kejahatan yang mayoritas dialami penduduk di Indonesia di samping kejahataan terkait narkotika (BPS, 2020). Pada tahun 2020, berdasarkan jumlah kasus yang dialami secara keseluruhan, kasus penganiayaan menempati peringkat kedua dengan jumlah kasus sebanyak 28.568 kasus. Dilain sisi, kejahatan terkait narkotika hanya mencapai 36.611 kasus. Dari jumlah 247.218 kasus kejahatan, sebanyak 11,56 persen merupakan kasus penganiayaan. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih berpeluang mengalami penganiayaan yang biasanya berujung dari budaya main hakim sendiri yang masih berlaku di Indonesia.
Sejatinya, penganiayaan terkadang merupakan pelampiasan budaya main hakim sendiri yang masih terjadi di masyarakat Indonesia. Pada zaman milenial saat ini seharusnya pola pemikiran masyarakat sudah terbuka dalam menyikapi suatu masalah serta tidak membiasakan main hakim sendiri menjadi budaya turun temurun dalam menyikapi suatu masalah. Setidaknya seiring kemajuan teknologi dan modernisasi, kita bisa memperbaiki serta mengubah budaya tersebut. Namun realitanya, kita masih dapat menemukan beberapa kasus main hakim sendiri di Indonesia.
Main hakim sendiri sejatinya timbul akibat masyarakat merasa bahwa mereka benar, dan mereka takut terhadap perangkat hukum. Masyarakat merasa hukuman yang diberikan oleh penegak hukum tidak sesuai dengan apa yang telah diperbuat pelaku kriminal, karena alasan inilah masyarakat lebih baik bermain hakim sendiri untuk memberikan sanksi yang menurut pandangan mereka sesuai dengan perbuatan sang pelaku.
Main hakim sendiri pada mulanya berasal dari kekecewaan masyarakat akan sistem peradilan yang justru dinilai tidak dapat memberikan rasa keadilan itu sendiri. Akan tetapi, hal ini tentu tidak dapat dibenarkan. Sebagai negara hukum, maka tentu segala perkara harus mengedepankan aspek hukum, sehingga budaya main hakim sendiri merupakan hal yang tidak dibernarkan di mata hukum. Perlindungan akan hak asasi manusia, terutama hak-hak yang berkaitan dengan hak yang tidak dapat dikesampingkan dalam situasi apapun (non-derogable rights) sudah seyogyanya menjadi napas dari negara hukum itu sendiri. Setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Tidak ada seorang pun yang dapat melakukan pencabutan nyawa orang lain.
Menurut Soerjono Soekanto, salah satu faktor yang mendukung efektivitas penegakan hukum itu adalah faktor masyarakat dan budaya. Hal ini menegaskan selain daripada hukum dan penegak yang ada di dalamnya, hukum juga dapat berjalan secara efektif apabila masyarakat yang diaturnya juga telah memiliki kesadaran akan hukum itu sendiri. Kesadaran akan hukum ini kemudian mendorong hukum juga dapat menjadi budaya. Budaya akan kepatuhan, kedisiplinan, dan supremasi akan hukum tentunya. Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah melakukan pembinaan Keluarga Sadar Hukum untuk membangun kesadaran hukum di masyarakat. Dengan adanya kegiatan tersebut, harapannya kesadaran masyarakat akan hukum dapat bertambah. Dengan demikian, budaya main hakim sendiri yang berimplikasi tindak kejahatan seperti penganiayaan tidak akan menjadi hal yang “lumrah” terulang setiap adanya masalah yang terjadi. Semoga kedepannya masyarakat Indonesia akan lebih sadar hukum sehingga tidak terbiasa “main hakim sendiri” dalam menyikapi permasalahan yang terjadi. (*)
Statistisi Ahli Muda
BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung