THR Bukan Solusi Pengentasan Kemiskinan

Bantuan Langsung Tunai atau yang akrab disingkat BLT santer terdengar pada era pemerintahan presiden SBY. Bisa dibilang pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) seperti yang banyak orang nikmati saat ini, sama halnya dengan BLT. Ia merupakan uang tunai, siap dibelanjakan, dan tidak dipotong cicilan. Terlebih biasanya jarang sekali THR akan masuk ke pos tabungan ataupun investasi, karena menuju momen lebaran nanti begitu menggiurkan untuk belanja, belanja dan belanja. Intinya THR akan menjadi booster konsumsi yang membuat aliran jumlah uang beredar semakin deras. Akankah ini mengentaskan kemiskinan ? tentu tidak, namun justru lebih buruk.

Dalam opini Sdr Berlian Sitorus pada kolom Bangka Pos tanggal 27 April 2022, menyebutkan bahwa daya beli penduduk yang tidak miskin namun berada tepat di atas garis kemiskinan perlu ditingkatkan. Pemilihan cara bantuan langsung tunai yang diambil sebagai solusi menurut saya bukanlah solusi yang efektif. Mudah saja, bantuan langsung tunai akan memicu inflasi yang tidak terkendali di suatu periode. Inflasi ini akan membuat orang yang “hampir miskin” tergelincir dengan sendirinya dalam jurang kemiskinan karena garis kemiskinannya sudah semakin tinggi. Oleh karena itu penerapan bantuan langsung tunai kepada masyarakat guna pengentasan kemiskinan masih perlu dipertimbangkan.

Dunia tidak akan pernah bersih dari yang namanya kemiskinan. Ini adalah sebuah keniscayaan karena kemiskinan akan tetap ada. Walaupun dalam suatu kampung berisi dengan rumah tangga yang memiliki banyak uang dan tabungan, tetap saja akan muncul yang namanya rumah tangga miskin relatif. Kemiskinan relatif merujuk pada perbedaan relatif tingkat kesejahteraan antar kelompok masyarakat. Mereka yang berada dilapis terbawah dalam persentil derajat kemiskinan suatu masyarakat akan tetap digolongkan sebagai penduduk miskin relatif, walaupun secara kesejahteraan ia tergolong cukup. Ditambah sikap dasar manusia yang tak pernah puas akan materi, akan membuat kesenjangan/gap konsumsi semakin menjadi-jadi. Yang kaya akan berusaha untuk tambah kaya, sementara yang miskin relatif sulit melakukan lompatan guna menutup gap yang terlanjur terbentuk. Dari uraian tersebut akhirnya penulis memiliki sudut pandang guna pengentasan kemiskinan dalam kondisi seperti ini.

Solusi pertama adalah zakat. Konsep zakat ini yang harus dilaksanakan karena dengan menerapkan ini maka gap kemiskinan dapat semakin kecil. Dalam zakat mengatur siapa saja yang wajib melaksanakannya dan siapa saja yang berhak menerimanya. Dengan konsep ini pula jumlah uang beredar tidak bertambah, inflasi tidak meroket bebas karena pemerintah tidak ujuk-ujuk memberikan suntikan dana segar kepada yang membutuhkan. Zakat menerapkan sistem perputaran uang bagaikan air terjun yang mengalir dari atas ke bawah seolah tak akan naik kembali. Secara kasar ini akan “menggembosi” si berkecukupan, dan “menggemukkan” bagi yang berkebutuhan. Perlahan tapi pasti akan menuju ke sebuah keseimbangan. Tidak perlu menjadi sangat kaya untuk menjadi yang wajib mengeluarkan, asal dilakukan dengan nominal yang sedikit, serentak dan berperiode maka akan terkumpul sejumlah aliran yang tentu saja sangat cukup guna mengentaskan kemiskinan. Praktis peran pemerintah sebagai regulator hanya bertindak sebagai pengawas saja. Melihat dan melakukan penegakan bagi yang melanggar.

Kedua edukasi. Zakat fitrah yang masih tetap awet berlangsung hingga saat ini tetap eksis dikarenakan edukasi. Sejak bangku taman kanak-kanak, muslim telah mendapatkan edukasi bahwa zakat termasuk ke dalam rukun Islam yang wajib untuk ditunaikan, sehingga saat melakukannya tidak ada perasaan enggan. Edukasi tentang penerapan metode aliran dana dengan konsep zakat perlu digaungkan di seluruh elemen masyarakat. Mulai dari kegiatan arisan, ceramah atau khutbah di ajaran agama manapun, hingga acara-acara formal pemerintahan. Gaung edukasi zakat harus sama intensnya layaknya suara adzan. Dengan begitu akan terbentuk sebuah kebiasaan, sehingga mengeluarkan zakat baik itu profesi, harta, emas, hingga hasil perkebunan bukan dipandang sebagai sebuah pemalakan.

Dari sudut pandang ini dapat kita pahami agar mengamankan jumlah uang beredar adalah kunci dalam pengentasan kemiskinan. Tinggal bagaimana permainan sang regulator dalam mengambil tindakan apabila terjadi penyelewengan. BPS sendiri mencatat tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang ditakar oleh Gini Ratio menunjukkan tren ke arah yang lebih baik. September 2021 saja tercatat dengan nilai 0,247 dimana turun 0,009 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio pada periode Maret 2021. Artinya ketimpangan berkurang. Entah ini hanya kebetulan atau tidak, antara periode Maret-September umat muslim menjalankan zakat dan di saat bersamaan dapat menurunkan Gini Ratio.

Sudut pandang ini tentu bukanlah jaminan pasti, namun penulis rasa konsep zakat memiliki dampak lebih baik daripada suntikan dana segar yang langsung menuju ke masyarakat. Yang pasti pilihlah sebuah sudut pandang dengan meminimalisir dampak dari sisi yang lain juga. Tidak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan pandangan ini. Tak lebih ini hanya sekadar pandangan berbeda dari sudut yang berbeda pula. Selebihnya hanya malasah eksekusi, bukan begitu?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *