Ramadhan harga-harga selalu naik, inflasi lagi, inflasi lagi. Pernyataan ini seolah menjadi hal yang pasti dan tertanam dalam benak masyarakat awam bahwa menjelang hari besar nasional, harga kebutuhan pokok akan meroket. Masyarakan akan menjadi wajar akan inflasi karena berfikir inflasi terjadi karena permintaan naik, pedagang pasti menaikkan harga barangnya juga guna mendapatkan untung gede. Apakah benar seperti itu ?, padahal faktanya tidaklah sesederhana itu.
Dalam hukum ekonomi mikro menyatakan bahwa harga akan naik ketika tidak tercapainya posisi keseimbangan atau ekuilibrium antara produksi dan konsumsi. Inflasi secara sederhana akan muncul apabila produksi tetap namun permintaan bertambah. Sebut saja kasus daging merah saat menjelang lebaran, harganya akan melambung karena permintaan daging merah yang intens. Seolah sudah menjadi tradisi bahwa suguhan daging merah adalah wajib adanya tersedia di meja makan saat lebaran tiba. Apakah sesederhana ini kah ? jika hal ini terus menerus berulang, bukankah pemerintah harusnya telah melakukan mitigasi bukan? Pemerintah tidak akan selalai itu membiarkan fenomena “tidak sehat” ini terjadi terus menerus. Produsen dan pedagang tidak mungkin juga sengaja menjual bahan-bahan favorit tersebut dilepas hanya saat Ramadhan dan lebaran, dan menumpuknya sebelum momen itu. Sebagian bahan baku favorit akan kadaluarsa dan tidak layak konsumsi lagi jika ditahan dan tidak dilepas ke pasaran.
Menurut hemat penulis, inflasi di setiap momen hari besar nasional memang sudah direncanakan. Ini tak lagi membahas dalam cakupan mikro namun sudah makro. Kebijakan inflasi ini merupakan perpaduan kebijakan moneter dan fiskal, yang dibenturkan dengan momen yang pas. Dalam beberapa kasus inflasi memang harus terjadi, namun momen kapan itu terjadi yang tidak bisa diatur oleh pemangku kebijakan. Ketika pemerintah tiba-tiba mengurangi subsidi dan harga-harga kebutuhan dasar menjadi naik, spontan masyarakat akan emosi, turun ke jalan hingga membuat stabilitas sosial politik menjadi bergejolak. Kondisi seperti ini yang tidak diinginkan oleh pemerintah. Akhirnya hari besar nasional seperti inil menjadi momen yang dipakai untuk menaikkan harga-harga karena masyarakat akan cenderung untuk tetap membeli di harga maksimal, tanpa adanya penolakan.
Tahukah Anda mengapa masyarakat tidak melakukan penolakan pada saat itu ?. Jawabannya karena keputusan melakukan pembelian di hari besar nasional lebih banyak dipengaruhi oleh motif emosional dibandingkan motif rasional. Motif emosional adalah motif yang dipengaruhi oleh perasaan dan kenangan yang membuat konsumen akan membeli barang tersebut walaupun harganya selangit. Pada momen ini sifat keputusan membeli dengan dasar motif rasional yakni pikiran yang sehat dan layak sudah tak lagi digubris.
Menurut Sciffman dan Kanuk (2000) dalam bukunya yang berjudul Consumer Behavior, motif emosional dalam pengambilan keputusan untuk membeli sebuah produk akan mendominasi pada momen-momen yang bersinggungan dengan harga diri, status dan rasa takut. Bisa kita bayangkan bersama ketiga faktor tersebut menjadi hal yang sangat sensitif saat Ramadhan dan lebaran, dimana interaksi orang berkunjung ke rumah kita lebih intens dari biasanya. Hampir semua orang tidak mau terlihat lemah dan miskin pada momen-momen tersebut guna menaikkan harga dirinya, terlebih jika keluarga dekat yang datang. Masyarakat lebih takut menjadi bahan pembicaraan daripada tabungan yang menipis akibat menuruti gengsi.
Dengan adanya momen tersebut pemerintah dapat dengan cermat memainkan perasaan masyarakat untuk perlahan menaikkan harga-harga kebutuhan yang selama ini masih disubsidi oleh pemerintah. Di saat seperti ini mulai masuklah lagi kebijakan pemerintah berupa fiskal. Tidakkah kita merasa di awal April ini banyak sekali kebijakan yang membuat perut rakyat harus menjalani puasa yang sebenarnya. Sebut saja kebijakan menaikkan harga bahan bakar pertamax menjadi Rp. 12.500 per liter hingga implementasi kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 11 persen yang keduanya terjadi di awal April 2022. Benar sekali, tepat di awal memasuki bulan Ramadhan. Karena masyarakat sudah percaya akan ada kenaikan harga komoditas, tapi jarang yang tahu salah satu penyebabnya adalah kebijakan-kebijakan fiskal seperti ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi pada Maret 2022 mencapai 0,66 persen secara bulanan (m-to-m) atau 2,64 persen secara tahunan (yoy). Dengan adanya kebijakan fiscal ini banyak pengamat ekonomi yang berpendapat bahwa akan mendorong kenaikan inflasi di kisaran 3,3 persen hingga 3,5 persen (yoy) pada periode April ini.
Terakhir kebijakan moneter akan bermain dengan suku bunganya. Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga untuk menahan agar inflasi tidak melambung terlalu tinggi. Ini akan membuat pemilik cash akan berpikir dua kali untuk menjadi “sultan” atau crazy rich dengan menghambur-hamburkan uang di saat lebaran. Mereka akan pintar berfikir untuk menahan uangnya di bank untuk sementara waktu, toh bersedekah tidak harus selalu di momen lebaran.
Skema yang penulis ilustrasikan tadi sudah acap tahun terjadi berulang-ulang. Yang pasti ketika harga sudah nyaman naik, jarang sekali ia menunjukkan penurunan. Mirip seperti prinsip tes ombak, jika terjadi gonjang-ganjing keamanan sosial politik, baru pemerintah akan berpikir kembali. Namun jika aman-aman saja, maka lepas sudah sedikit beban pengeluaran pemerintah dari jalus subsidinya. Kenaikan harga tak sepenuhnya hanya tradisi, bisa jadi itu hanyalah mitos. Masyarakat kita yang perlu tambahan edukasi dan mulai sadar bahwa inflasi tidak sepenuhnya terjadi secara alami, namun sebagian terjadi karena telah direncanakan dengan matang. Akhirnya penulis berpesan, untuk selalu bijak dalam melakukan pembelian dengan menyeimbangkan motif rasional dan emosional dalam setiap pengambilan keputusan.
Statistisi Ahli Muda
BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung