Pada 13 Desember 2021, masyarakat dikejutkan oleh pemerkosaan gadis di bawah umur yang dilakukan oleh ayah kandung dan kakaknya sendiri. Terdakwa yang tidak lain adalah kakak kandung dan ayah kandung korban sendiri, terbukti secara sah dan diyakini telah melakukan kekerasan seksual. Bahkan, tindak pidana tersebut telah dilakukan berulang kali.
Kekerasan seksual adalah satu dari ribuan kasus kekerasan terhadap anak. Akhir-akhir ini, memang banyak diberitakan soal kekerasan terhadap anak. Kenyataan itu sangat memprihatinkan dan makin meneguhkan persepsi bahwa anak-anak masih rentan mengalami kekerasan.
Secara yuridis formal, anak-anak memang telah dilindungi oleh Undang – Undang. Pemerintah telah menetapkan Undang Undang (UU) No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu, dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan pemenuhan hak anak, dibentuk juga Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen. Namun, sayangnya meski Indonesia telah memiliki Undang-Undang Perlindungan Anak dan Lembaga khusus yang melindungi anak, trend kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat.
Berdasarkan Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dari Badan Pusat Statistik, persentase anak yang menjadi korban kejahatan memang mengalami penurunan. Pada tahun 2019, persentase anak yang menjadi korban kejahatan rata-rata adalah 6,86 persen se-Indonesia. Selanjutnya pada tahun 2020, persentase anak yang menjadi korban kejahatan rata-rata menurun menjadi 5,68 persen. Pada tahun 2019, dari 34 provinsi, terdapat 19 provinsi dengan persentase anak yang berada di atas rata-rata nasional, yang didominasi Kalimantan Barat dengan persentase tertinggi. Selanjutnya, pada tahun 2020, dari 34 provinsi, hanya 12 provinsi dengan persentase anak yang berada di atas nasional, yang didominasi oleh Papua dengan persentase tertinggi. Menurunnya persentase anak dari level provinsi maupun nasional menjadi korban kejahatan menunjukkan bahwa peluang anak-anak mendapat perlindungan dari kekerasan semakin besar sehingga kecil kemungkinan untuk menjadi korban dari sebuah kejahatan. Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri bahwa masih adanya peluang anak-anak untuk menjadi korban kekerasan.
Kekerasan terbukti menjadi salah satu tindak kejahatan yang rentan dialami oleh anak-anak. Selama tahun 2019-2021, angka kekerasan pada anak terus mengalami peningkatan. Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), jumlah kekerasan terhadap anak pada 2019 sebanyak 11.057 kasus terdiri dari kekerasan fisik 3.401 kasus, kekerasan psikis 2.527 kasus, seksual 6.454, eksploitasi 106 kasus, tindak pidana perdagangan orang (TPPO) 111 kasus, penelantaran 850 kasus, dan kasus kekerasan lainnya 1.065 kasus. Kemudian pada tahun 2020, jumlah kekerasan terhadap anak meningkat menjadi 11.278 kasus, di antaranya kekerasan fisik 2.900 kasus, psikis 2.737 kasus, kekerasan seksual 6.980 kasus, eksploitasi 133 kasus, TPPO 213 kasus, penelantaran 864 kasus, dan kasus kekerasan lainnya sebanyak 1.121. Pada Januari-September 2021, jumlah kekerasan pada anak sebanyak 9.428 kasus. Terdiri dari kekerasan fisik 2.274 kasus, psikis 2.332, seksual 5.628 kasus, eksploitasi anak 165 kasus, TPPO 256 kasus, penelantaran 652 kasus, dan kasus kekerasan lainnya sebanyak 1.270 kasus.
Di Indonesia, kekerasan terhadap anak memang sudah membudaya dan dilakukan turun-temurun. Akibatnya, dari tahun ke tahun kasus kekerasan terhadap anak terus bertambah. Salah satu pemicunya adalah kemiskinan atau kesulitan ekonomi yang dihadapi para orang tua. Terlebih lagi saat dihadapkan pandemi yang masih terjadi saat ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2020, 29 juta pekerja di Indonesia terimbas dampaknya salah satunya adalah pemutusan hubungan kerja (PHK), pengurangan gaji yang signifikan serta berbagai dampak lainnya. Berdasarkan jumlah tersebut, 7 juta orang sangat sulit mendapatkan pekerjaan kembali. Organisasi buruh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) pada 23 Agustus 2021 melaporkan bahwa tercatat hampir 50.000 buruh mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) pada tahun 2021 akibat pandemi Covid-19. Selanjutnya, sepanjang paruh pertama 2022 diperkirakan dampak pandemi terhadap dunia kerja saat ini masih sangat tinggi.
Namun, faktor tersebut bukan satu-satunya faktor pemicu kekerasan terhadap anak. Kekerasan terhadap anak juga terkait dengan faktor struktural dan kultural dalam masyarakat. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya pandangan bahwa anak adalah harta kekayaan orang tua atau pandangan bahwa anak harus patuh kepada orang tua, yang seolah-olah menjadi alat pembenaran atas tindak kekerasan terhadap anak. Oleh karena itu, menjadi tanggung jawab kita bersama, khususnya para orang tua, untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Paradigma bahwa anak adalah milik orang tua harus segera diubah. Untuk itu, diperlukan peran serta pemerintah dan kepedulian masyarakat. Berkaitan dengan hal tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat sedang menginisiasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang direncanakan akan disahkan pada 18 Januari 2022. Diharapkan dengan adanya peraturan tersebut dapat memperkuat perlindungan dari tindakan kekerasan seksual serta mempertajam paradigma untuk berpihak kepada korban. Selain itu, kecekatan pemerintah dalam mengatasi permasalahan ekonomi diharapkan dapat membantu menekan angka kekerasan anak. Dengan, menjadikan masalah kemiskinan dan penyediaan lapangan pekerjaan sebagai prioritas utama pemerintah diharapkan dapat meminimalisir peluang kekerasan yang dialami oleh anak.*

Statistisi Ahli Muda
BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung