Dua pulau satu hati menjadi jargon pariwisata Babel belakangan ini. Setidaknya konsep itu yang sedang diusung oleh pemerintah guna menarik hati wisatawan berkunjung. Memang tak banyak yang bisa dilakukan, namun setidaknya upaya sekecil apapun sangat berarti di masa pagebluk seperti saat ini.
Kilas balik dahulu pada akhir tahun 2019, media menyoroti munculnya wabah virus yang menginfeksi Wuhan, China. Awalnya, virus yang dikenal sebagai COVID-19 ini hanya menginfeksi puluhan ribu warga Tiongkok. Sempat viral di dunia maya beberapa orang tiba-tiba terjatuh di tengah jalan, sebagian ada yang tak sadarkan diri, hingga ada yang langsung meninggal di tempat kejadian. Perlahan tapi pasti, virus tersebut menyebar ke negara tetangga seperti Korea Selatan, Jepang, dan sekitarnya. Situasi semakin memburuk di awal tahun 2020 ketika wabah virus mulai menyebar dengan jangkauan lebih jauh ke hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia.
Dua kasus Corona pertama di Indonesia terjadi di Depok Jawa Barat, dimana bermula ketiak satu di antara yang positif tersebut diketahui kontak dengan warga negara Jepang yang terbukti positif Covid-19. Seolah tak pandang bulu, virus ini juga menyebar hingga ke Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pada awal April 2020 kasus Covid-19 pertama resmi diumumkan. Seluruh jajaran pemerintah provinsi dan daerah bertindak cepat. Sebut saja gerakan cepat yang dilakukan oleh pemkab Bangka yang dikomandani langsung oleh Bupati Mulkan SH, MH memasang alat cuci tangan di sepuluh titik keramaian pada 6 April 2020. Hal serupa diikuti oleh pejabat publik lainnya seperti membagikan masker hingga sosialisasi perihal pentingnya mencuci tangan guna menghentikan penyebaran virus Covid-19.
Tentu saja, ancaman virus mematikan telah mengancam pariwisata dan diduga akan mengalami kemrosotan di tahun-tahun mendatang. Oleh karena itu, bencana alam seperti COVID-19 akan sangat sulit diatasi tanpa persiapan yang memadai, sehingga akan berdampak buruk pada berbagai aspek kehidupan, bermula dari pariwisata hingga berujung pada melemahnya perekonomian. Kasus ini semakin mengerucut kembali ke wilayah regional seperti halnya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (read : Babel). Wilayah ini sejatinya memiliki daya tarik wisata mulai dari wisata pantai, gunung, danau hingga tempat-tempat bersejarah. Terlebih Babel menawarkan keindahan terumpuh karang layaknya Pulau Seribu karena memeliki pulau-pulau kecil berbetuk kepulauan. Pembatasan mobilitas seperti yang terjadi sekarang merupakan momok menakutkan bagi pariwisata Babel
Pandemi Covid-19 yang sedang dihadapi sekarang ini memberikan multiplier effect yang cukup panjang dan memaksa merubah kebiasaan manusia pada umumnya. Carlsson-Szlezak et al. (2020) dalam Higgins- Desbiolles, (2020) menyatakan bahwa pada ujungnya pandemi tentu akan mematikan kegiatan produksi dan menonaktifkan komponen penting dari arus rantai distribusi yang kemudian menyebabkan pengangguran sebagai kondisi terburuk. Akibatnya, banyak orang kehilangan sumber pendapatan, yang pada akhirnya menjerumuskan orang tersebut ke dalam lingkaran kemiskinan (Renahy et al., 2018). Berdasarkan fakta, hampir seluruh wilayah negeri ini mengalami kemunduran pariwisata besar-besaran, yang kemudian mempengaruhi kehidupan sosial yang berujung pada perekonomian tidak terkecuali Babel. Hal ini tentu menjadi tantangan besar karena pemerintah ingin tetap menghidupkan sektor pariwisata tanpa harus melanggar protokal kesehatan yang telah disepakati bersama.
Melihat kondisi pariwisata tak akan jauh dari indikator tamu menginap khususnya di hotel Bintang. Dari gambar di atas nampak jelas jumlah tamu yang menginap naik turun layaknya wahana roller coaster. Pada tahun 2021 sempat ada harapan pada bulan Maret karena mulai maraknya proses vaksinasi massal, kunjungan tamu ambruk lagi pada periode April karena hantaman varian Covid Delta. Meniti perkembangan yang mulai bangkit pada bulan Juni 2021 mencapai 26,65 ribu pengunjung yang notabene menjadi puncak kedatangan tamu, bulan berikutnya kandas lagi. Jakarta menjadi faktor yang menyebabkan tamu di Babel menurun pada periode Juli dan Agustus. Mayoritas tamu menginap ke Babel memang dari ibukota, alhasil kala Jakarta harus menerapkan PPKM hingga level 4 pada Juli-Agustus masyarakat enggan berpergian termasuk ke Babel. Jakarta ketat, pariwisata Babel jalan di tempat.
Jika melihat riwayat level PPKM di Jakarta dimana terus berada pada level tinggi du bulan terakhir, membuat kunjungan pariwisata yang diduga membaik di semester kedua harus pupus. Efek vaksinasi massal kurang begitu garang dampaknya, jika Jakarta terus menutup diri. Sektor ekonomi yang bersinggungan perihal parwisata juga ketar-ketir. Badan Pusat Statistik mencatat setidaknya 6 dari 55 hotel bintang dinyatakan tutup sementara pada periode Juli 2021. Sebulan berselang 2 hotel bintang di kawasan wisata Pulau Belitung juga turut mengangkat bendera putih demi menutup kerugian operasional yang terus berjalan. Jika tren ini terus berlanjut bisa jadi lambat laun infrastruktur pariwisata ambruk dan tidak mampu untuk menyokong pariwisata Babel di kemudian hari. Tidak banyak yang bisa dilakukan pemerintah, memberikan suntikan dana juga tidak memungkinkan karena sistem birokrasi dan roda pemerintahan juga sedang beradaptasi dengan meminimalkan interaksi.
Dapat disimpulkan bahwa jika bukan karena pandemi, pembangunan sektor pariwisata berada di ujung tanduk. Bukan hanya Babel yang terpuruk akibat pandemi ini tetapi juga seluruh wilayah di Indonesia bahkan dunia. Kemudahan akses transportasi dan kehadiran pemerintah dalam memudahkan pengunjung untuk datang ke Babel tanpa harus melanggar protokol kesehatan menjadi kunci utama dalam pembangunan yang akan datang. Pemberian subsidi bagi wisatawan perihal tes PCR atau swab bisa jadi cara ampuh untuk menarik kembali pengunjung untuk berwisata di sini terutama yang berasal dari Jakarta. Mimpi pariwisata Babel setara dengan daerah destinasi utama seperti Bali belumlah berakhir.
s.bps.go.id/coretanadis