Ilyas Elsirhan merupakan bocah kecil yang berusia 3,5 tahun saat ini. Ulang tahun umur ketiganya kemarin dirayakan hanya dengan kedua orang tuanya saja. Tidak ada kakek-nenek atau kerabat yang mengerumuninya dan tertawa serta memberinya hadiah karena pandemi Covid-19 dan serial pembatasan mobilitas yang pemerintah tetapkan sejak tahun lalu.
Ilyas adalah anak era Covid-19. Sejak usianya dua tahun di awal pandemi tahun lalu, setidaknya dia keluar rumah tidak lebih dari hitungan jari, satu di antaranya ke posyandu untuk imunisasi. Tidak banyak orang yang dia lihat semenjak usianya beranjak dua tahun. Salah satu yang justru paling berbekas di benaknya adalah saat beberapa petugas rumah sakit berpakaian “astronot” datang mengunjungi tetangga di depan rumah. Benar, rumah tersebut bisa dibilang kasus pertama Covid-19 di kabupaten kecil, Belitung Timur.
Menurut ibunya, saat berkunjung ke posyandu atau sejenak keluar rumah, Ilyas selalu menatap penasaran semua orang. Secara khusus, matanya akan tertuju pada perawat yang mengenakan alat pelindung diri (APD). Apa yang mungkin mengalir melalui pikiran balita yang sedang berkembang?, tidak semua orang tahu termasuk orang tuanya sendiri.
Apa yang dibayangkan melihat petugas dengan mengenakan APD, yang pasti dia belum memiliki konsep tentang luar angkasa untuk menyebut petugas sebagai seorang astronot. Apakah dia akan melihat mereka yang memakai APD sebagai bagian normal dari dunia yang akan terus dia temukan setiap hari?. Semua pasti bertanya-tanya apakah Ilyas menganggap topeng yang dipakai semua orang posyandu kala itu adalah bagian dari pakaian normal orang-orang di luar keluarganya.
Seringkali, dia bertanya kepada ibunya: “Kapan pandemi akan berakhir?” Ini adalah pertanyaan yang baik ibunya maupun orang lain tidak dapat menjawabnya untuk saat ini. Menariknya, ibunya selalu mengatakan bahwa Ilyas dapat membuat daftar tempat yang akan dikunjungi setelah pandemi berakhir, sebagai bentuk sebuah harapan.
Beruntunglah bahwa teknologi modern saat ini membantu anak-anak seperti dia tetap terhubung dengan kerabat yang lain. Panggilan video telah menjadi bagian penting dari gaya hidup mereka yang terbatas dan ibunya menggunakannya untuk memastikan anak-anaknya tetap bersilaturahmi, terutama kakek-nenek yang tinggal di Pulau Jawa.
Selama panggilan video Whatsapp, Ilyas dengan bangga memamerkan goyangan khas anak-anak atau berbagi cerita “halu” yang dibuat oleh pikirannya yang subur. Dan bisa jadi tanpa panggilan video, Ilyas mungkin tidak bisa mengenal kerabatnya.
Tetapi teknologi tidak dapat menggantikan dunia nyata. Anak-anak seolah telah kehilangan stimulasi kognitif dan sosial yang sangat diperlukan untuk tumbuh kembangnya. Mereka perlu bahkan butuh untuk berada di luar rumah, bergerak bebas menyalurkan energinya agar tidak menjadi anak yang pemarah. Tentu saja akibat dari energi berlebih yang dimiliki oleh Ilyas dan anak-anak lain seusianya.
Itulah sebabnya banyak psikolog yang khawatir jutaan anak dalam kelompok usia seperti Ilyas akan terkena dampak buruk dari pandemi dan penghambatan naluri alami mereka untuk pergi keluar dan bermain. Mereka dikurung di rumah, layaknya tahanan masa pagebluk yang tidak dapat mereka pahami sepenuhnya.
Selain masalah psikologi, bagaimana dengan anak-anak yang terinfeksi virus? Bukankah itu lebih buruk bagi mereka? Data Satgas Penanganan COVID-19 mengungkapkan secara kumulatif hingga 16 Juli 2021 ada 777 anak di Indonesia meninggal dunia akibat COVID-19. Persentase Angka Kematian Tertinggi (CFR) berada pada kelompok usia 0-2 tahun, diikuti kelompok usia 16-18 tahun dan usia 3-6 tahun layaknya usia Ilyas. Setidaknya seperdelapan kasus COVID-19 yang ada di Indonesia berasal dari usia anak-anak dan remaja yaitu di bawah 18 tahun dengan kasus mencapai 351 ribu kasus. Bagaimana ini akan mempengaruhi kehidupan mereka dalam jangka panjang? Apakah sistem kekebalan mereka akan terganggu? Apakah itu akan menghambat kemampuan intelektual atau artistik mereka?. Pertanyaan ini mungkin akan terjawab dalam beberapa tahun yang akan datang.
Anak-anak yang orang tuanya kehilangan pekerjaan atau yang hidup dalam kemiskinan pasti akan menjadi salah satu yang terkena dampak terburuk. Lihat saja laju pertumbuhan ekonomi Babel Semester 1 tahun ini yang tumbuh “hanya” 1,13 persen saja dibandingakn tahun lalu. Padahal tahun lalu merupakan tahun terburuk dalam sejarah pertumbuhan ekonomi regional karena hantaman perdana pandemi. Tentu saja pendapatan masyarakat yang memiliki anak secara global mengalami kemunduran. Apakah itu akan menghambat pertumbuhan fisik dan mental anak-anak mereka? Tampaknya mungkin karena bisa jadi pemeberian kebutuhan nutrisi anak jadi minimal, ujung-ujungnya stunting lagi stunting lagi.
Tidak semua anak beruntung memiliki orang tua yang penyayang, dan lockdown sehingga harus berdiam diri di rumah tentu saja meningkatkan risiko anak-anak menyaksikan atau menderita kekerasan dan pelecehan. Ini karena orang tua berada di bawah tekanan sosial ekonomi yang luar biasa dan kepercayaan diri mereka kemungkinan besar telah terpukul. Situasinya akan lebih buruk jika ada anggota keluarga yang terinfeksi.
Keluarga besar di hunian yang kecil tiba-tiba akan merasa sesak karena semua orang tinggal di rumah sepanjang waktu dan akan membutuhkan kesabaran dan keterampilan yang luar biasa untuk mengelola ekspektasi dan perilaku bersaing dari anak, terlbih jika mereka memiliki saudara. Oleh karena itu, akan ada bom waktu yang menunggu untuk meledak.
Kekerasan terhadap anak selama pandemi mengalami peningkatan sekitar 15 persen. Kekerasan bisa berupa fisik maupun verbal. Terkadang orang tua tanpa sadar melakukan kekerasan tersebut. Kesiapan orang tua menjadi salah satu penyebab. Setidaknya seperti itu yang disampaikan oleh dr. HM. Soeroyo Machfudz, Sp.A (K), MPH, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) dalam acara seminar yang berjudul “Kekerasan Pada Anak di Masa Pandemi Covid-19” pada bulan Juni kemarin.
Suka atau tidak, anak-anak akan dapat merasakan tekanan orang tua dan anggota keluarga yang lebih tua akibat dari tekanan mental atas kehilangan pekerjaan, penguncian, isolasi sosial dan kekhawatiran atas kesehatan dan keuangan.
Orang tua harus terlebih dahulu memastikan anak-anak mereka tidak terinfeksi dan cara terbaik adalah menjaga mereka tetap di rumah saja. Siapa pun yang kembali ke rumah setidaknya harus mencuci tangan dengan sabun sebelum bersentuhan dengan anak-anak.
Dalam mengasuh anak, orang tua tidak boleh mengabaikan kesehatannya sendiri. Karena jika mereka terinfeksi atau jatuh sakit karena kelelahan atau khawatir, itu akan lebih buruk bagi anak-anak.
Last but not least, selalu ada kemudahan dibalik kepayahan. Tidak perlu kehilangan harapan atau menjadi pesimis. Manusia pandai beradaptasi, bertahan dan berkembang, itu naluri yang nenek moyang kita wariskan.
Stres dan ketegangan dapat membantu membuat kita lebih kuat, lebih tangguh. Kita perlu mempertahankan pikiran yang tenang, terlepas dari keadaan yang rumit, dan memanfaatkan situasi dengan sebaik-baiknya sambil mengajari anak-anak kita pentingnya ketabahan dan kesabaran. Dan tentu saja, tetap menjaga kesehatan.
Oleh karena itu, banyak hal tergantung pada orang tua. Itulah sebabnya Uswatun, seorang ibu rumah tangga dan wanita karir yang beruntung bisa work from home(WFH), dapat menghabiskan banyak waktu bersama anak-anaknya. Dia membuat Ilyas tetap sibuk, bermain dengannya dan menenangkan kecemasan si kecil setiap kali ia gelisah.
s.bps.go.id/coretanadis