Ledakan angka kelahiran atau baby boom di Indonesia merupakan salah satu dampak yang dikhawatirkan dari pandemi COVID-19. Mulai dari akademisi di bidang demografi hingga pakar kesehatan ibu dan anak telah mewanti-wanti fenomena ini di awal pandemi melanda. Pasalnya penggunaan KB menurun saat pandemi COVID-19 kian meluas. Hal ini terjadi karena para akseptor KB takut untuk mengakses layanan KB ditengah wabah.
Pandemi COVID-19 juga berakibat kepada penurunan aktivitas dalam beberapa kelompok kegiatan program KB serta penurunan mekanisme operasional di lapangan. Pelayanan KB merupakan kegiatan yang syarat akan kontak secara penuh atau people to people contact. Sehingga ketika ada physical distancing atau social distancing tentu saja menyulitkan dalam pemberian layanan yang maksimal.
Media acap kali tefokus kepada tenaga kesehatan yang berjuang di garda terdepan dalam bertarung melawan virus COVID-19. Padahal tenaga medis di lapisan kedua seperti halnya bidan, tenaga pelayanan KB, penyuluhan imunisasi balita harus mendapatkan perhatian yang setara. Segala yang berkaitan dengan hubungan antara ibu dan anak di masa pandemi harus menjadi perhatian bersama karena akan selalu ada kehidupan di pasca pandemi yang harus tetap dijaga kualitasnya.
Sempat berdiskusi dengan salah satu rekan yang bekerja sebagai bidan di Puskesmas Aik Itam Kota Pangkalpinang, salah satu puskesmas kecil di tengah kota. Bidan seperti mereka mau tidak mau tetap menjalankan pelayanan imunisasi untuk bayi dan merawat ibu hamil. Tetapi COVID-19 mengubah perawatan yang dapat mereka tawarkan.
Ketika awal pandemi pada Maret 2020, bidan merasa ketakutan. Banyak petugas dan penyuluh berhenti bekerja karena mereka tinggal di rumah tidak kemana-mana untuk beberapa hari. Itu berarti kekurangan tenaga medis di pos pelayanan. Pergeseran yang biasanya delapan atau 24 jam malah berlangsung seminggu penuh untuk menutupi staf yang hilang dan mengurangi potensi paparan COVID-19.
Karena jumlah tenaga medis yang rendah, pembatasan sosial, maka layanan penting untuk wanita dan bayi terpaksa dibatalkan. Klinik imunisasi tutup. Kelas prenatal dihentikan. Mereka bahkan harus mengarahkan beberapa wanita untuk melahirkan di tempat lain.
Tidak seperti tenaga kesehatan garis depan lainnya, bidan tidak diprioritaskan untuk menerima alat pelindung diri di awal pandemi menjamur. Mereka sempat mengalami kecemasan yang signifikan karena tidak dapat melindungi diri mereka sendiri dan tidak memiliki pedoman untuk merawat ibu hamil yang terpapar COVID-19 dengan benar.
Banyak wanita melewatkan pelayanan tatap muka dalam program keluarga berencana dan pengecekan kehamilan. Imunisasi untuk bayi baru lahir turun setengahnya. Menurut tenaga medis di lapis kedua, setidaknya ada beberapa hal yang suara hati mereka untuk dicurahkan kepada para pembuat kebijakan, yakni :
Pertama, pembuat kebijakan dan masyarakat harus memperlakukan bidan, petugas KB layaknya petugas kesehatan garis depan yang sama pentingnya. Beberapa orang percaya petugas tenaga medis seperti bidan hanya bekerja di komunitas kecil dan tidak melayani banyak orang. Padahal seharusnya kehadiran bidan dan penyuluh merupkan memberikan pendidikan pertama tentang ancaman kesehatan masyarakat melawan COVID-19.
Berbagai studi salah satunya yang berjudul Man-Midwifery Dissected karya Fores S. (2020) menunjukkan bahwa lebih dari 90% bidan adalah perempuan. Karena seksisme dan norma gender, bidan dan peran mereka dalam merawat wanita dan bayi baru lahir diremehkan. Perawat dan petugas kesehatan masyarakat menghadapi hambatan gender yang serupa.
Namun laporan tersebut menunjukkan bidan dapat memberikan 90% perawatan esensial yang berkaitan dengan kesehatan seksual, reproduksi, ibu, bayi baru lahir, dan remaja selama hidup. Dan dengan peningkatan investasi, bidan dapat menyelamatkan hingga 4,3 juta jiwa setiap tahun pada tahun 2035 dengan mencegah 65% kematian ibu, kematian bayi baru lahir, dan kelahiran mati.
Kedua adalah perlindungan terhadap bidan dan penyuluh. Banyak bidan dan penyuluh kesehatan menempatkan diri mereka dan keluarga mereka pada risiko COVID-19 dengan terus memberikan perawatan bagi wanita dan bayi. Tidak sedikit tenaga medis seperti bidan yang meninggal karena kontak langsung dengan penyintas COVID-19.
Bidan berhak mendapatkan perlindungan yang layak, APD yang memadai, dan akses ke tes, perawatan, dan vaksin COVID-19 yang lebih utama. Mungkin sekarang tidak, tetapi di awal pandemi banyak bidan dan penyuluh harus menggunakan kembali APD yang telah digunakan sebelumnya dan, bahkan dengan gaji mereka sendiri, membeli masker dan handsanitizer untuk kepentingan pelayanan umum.
Ketiga, urgensi pemerataan tenaga medis terampil di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh di dashboard Badan PPSDM Kesehatan Informasi SDM Kementrian Kesehatan Republik Indonesia dan disandingkan dengan data Sensus Penduduk 2020, diketahui bahwa 1 bidan menangani setidaknya 130 orang. Rasio bidan terhadap penduduk ini masih dirasa kurang jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang mencapai rasio 1 : 64 orang saja di 2020. Terlebih ketimpangannya cukup beragam mulai dari yang cukup baik seperti di Banten dengan rasio 1: 42 hingga di Kepulauan Bangka Belitung yang mencapai rasio tidak masuk akal yakni 1 : 756 orang.
Selama pandemi, beberapa bidan telah dipindahkan dari puskesmas ke pusat penanganan COVID-19 untuk mengatasi kekurangan tenaga kesehatan nasional. Hal ini semakin membuat timpang dan menambah beban berlipat-lipat kepada para bidan dan penyuluh yang masih bersedia melayani pelayanan di puskesmas. Dengan dasar ini setidaknya menjadi alarm bagi pembuat kebijakan untuk meningkatkan investasi dalam melatih lebih banyak bidan. Tidak berhentri sampai di situ saja, regulasi yang mengatur penempatan tenaga medis lapis kedua juga turun menjadi perhatian. Jangan sampai terjadi penumpukan di suatu wilayah karena alasan fasilitas dan sarana yang jauh keimpangannya.
Keempat, eksistensi bidan dalam pengambilan keputusan. Bidan memiliki keterampilan untuk membawa masyarakat keluar dari pandemi dan menuju cakupan kesehatan secara umum dan menyeluruh. Namun hal ini membutuhkan lebih banyak kesempatan dimana mereka harus turut terlibat dalam pembuatan kebijakan. Dengan keterlibatan mereka yang paham betul masalah yang terjadi di lapangan, investasi kesehatan di daerah akan memliki keakuratan yang lebih baik.
Bidan dan petugas penyuluh di lapangan perlu berada di kursi penting kapan dan di mana keputusan sedang dibuat. Sebaliknya, kebijakan dibuat untuk mereka dan kemudian diimplementasikan kembali oleh mereka. Pembuat kebijakan harus melibatkan bidan dalam menentukan kebijakan kesehatan dan pemberian akses terhadap jaringan profesional lainnya.
Jangan pernah berhenti bermimpi karena jika bermimpi saja tidak bisa, hidup sudah pasti tidak ada guna. Semua bermimpi untuk hidup lebih baik pasca pandemi, termasuk tenaga kesehatan yang kurang tersorot oleh media padahal memberikan peran mendasar pada psikologi masyarakat dan kehidupan di masa yang akan datang. Tidak boleh ada lagi yang tertinggal, termasuk mereka tena kesahatan yang acap kali dipandang sebagai lapis kedua.
s.bps.go.id/coretanadis