“Data ini adalah jenis kekayaan baru. Saat ini data adalah new oil, bahkan lebih berharga dari minyak. Data yang valid merupakan kunci utama kesuksesan pembangunan sebuah negara”. Begitulah mungkin kurang lebih apa yang dikatakan oleh Presiden Jokowi dalam acara pencanangan Sensus Penduduk 2020 setahun silam. Memang benar saja, secara gambaran kasar pada perencanaan Sensus Penduduk 2020 kemarin telah menelan biaya sekitar 4 Triliun Rupiah, atau sekitar 14 Ribu Rupiah per kepala. Secara gamblang dana tersebut sudah cukup “murah” dibandingkan alokasi biaya yang dikeluarkan pemerintah Australia pada gelaran Sensus Penduduk terakhirnya yang mencapai 1,4 juta rupiah per kepala. Namun demikian anggaran yang telah mencapai triliunan Rupiah tidaklah sedikit. Andai saja semua penduduk melek teknologi dan dapat mengupdate data mereka sendiri secara real time, tentu akan menarik sekali. Tapi semua tahu ini hanya sebuah harapan, entah beberapa dekade ke depan untuk melakukan pendataan mandiri tersebut. Terlebih pandemi Covid-19 telah mengalihkan arah pembangunan pemerintah Indonesia.
Penghematan anggaran merupakan prioritas dari APBN saat ini. Melihat jauh ke depan nampaknya pertumbuhan ekonomi akan bergantung dari penanganan pandemi, salah satunya melalui program vaksinasi Covid-19. Program vaksinasi diharapkan menekan penularan Covid-19 dan mengembalikan kepercayaan masyarakat untuk melakukan kegiatan perekonomian. Sri Mulyani menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini masih ditopang oleh APBN yang difokuskan untuk melanjutkan penanganan Covid-19 dan memperkuat pemulihan ekonomi. Untuk kebutuhan tersebut, pemerintah mempersiapkan dana sebesar Rp 688,33 triliun, atau naik signifikan dari rencana awal yakni Rp 372,3 triliun. Dengan kata lain, Covid-19 seolah rintangan perjalanan. Jika tidak ada lubang menghadang, ekonomi bisa maju jalan, namun jika ada lubang, apalagi yang besar mau tidak mau ekonomi harus berhenti bahkan putar haluan. Lihat saja Badan Pusat Statistik merilis bahwa pengeluaran konsumsi pemerintah sepanjang tahun 2020 mencapai 1433,68 Triliun Rupiah. Bisa dilihat bagaimana besarnya proporsi biaya yang digunakan untuk penangan Covid-19.
Bangsa ini tentu tidak berharap akan terus terpuruk dan selalu mengecek ombak saat akan memulai sebuah pemulihan ekonomi. Indonesia tidak hanya harus keluar dari krisis Covid-19 tetapi juga keluar secara lebih cepat dan menjadi negara lebih kuat. Tidak banyak negara di dunia yang bisa memanfaatkan krisis sebagai batu loncatan untuk menjadi negara yang berbeda pasca krisis. Boleh percaya atau tidak, faktanya pertumbuhan ekonomi dunia yang secara simultan begitu terkontraksi ini adalah yang terberat semenjak perang dunia ke II atau yang lebih dikenal dengan Era Great Depression tahun 1930. Sempat berharap pada akhir kuartal III dan IV perekonomian Indonesia akan baik-baik saja atau minimal tumbuh 0 persen saja ternyata tak kunjung jua. Kontraksi terus dialami, semua dipaksa untuk berubah. Bertahan secara finansial di era seperti ini menjadi kunci penting keberlangsungan hidup di masa yang akan datang. Namun tak hanya finansial, perubahan telah dirasakan menyeluruh ke semua aspek kehidupan.
Pandemi sedikit banyak telah mengubah kehidupan manusia. Pekerjaan, pendidikan, dan banyak hal lain yang dulunya harus dilakukan di luar rumah, kini lebih banyak dilakukan di rumah. Tak mengherankan jika kemudian banyak orang merasakan jenuh dan bosan. Mau tidak mau setiap manusia harus bisa bersikap mandiri saat ini. Mandiri dari ketergantungan yang berlebihan kepada orang lain, mandiri secara berpikir dan mengambil tindakan di saat krisis.
Pelaku usaha menjadi individu yang paling banyak harus berubah dan mandiri. Mereka tidak bisa hanya sekedar berdiam diri menanti kucuran dana pemerintah untuk terus bertahan hidup. Banyak proses yang semula offline, dipaksa menjadi online. Banyak yang harus memotong anggaran dan biaya operasional. Terkhusus wilayah Babel sendiri, 30.13 persen dari total pelaku usaha yang terjaring dalam survey dampak pandemi oleh BPS menyatakan bahwa mengurangi beban operasional (listrik, air, telepon, gas, dsb) merupakan upaya yang paling banyak dilakukan oleh perilaku usaha penyediaan akomodasi dan makan minum dalam menghadapi pandemi Covid-19. Survey di awal tahun 2021 ini menunjukkan bagaimana mereka begitu tertekan dan harus keluar dari zona nyaman bagaimanapun caranya. Pendataan mandiri dari masyarakat merupakan masa depan kekayaan bangsa saat ini. Karena data nasional akan berasal dari sana.
Setali tiga uang, bagi para abdi di birokrasi, pandemi mengajarkan untuk naik kelas lebih tinggi. Naik kelas bermakna bukan sekadar mendapatkan pangkat dan jabatan yang lebih tinggi. Namun, lebih dari itu, kehadirannya memberikan manfaat atau nilai tambah yang lebih bermakna baik bagi diri sendiri maupun masyarakat. Pelayanan publik dipaksa diperbaharui dan meminimalkan proses tatap muka. Hampir di seluruh unit pelayanan masyarakat seperti pembuatan dokumen kependudukan di Dinas Dukcapil, pengurusan perpanjang SIM di Polres, hingga pelayanan permintaan data ke Badan Pusat Statistik semua telah dilakukan secara online. Pada akhirnya tinggal bagaimana masyarakat harus mandiri dan berperan aktif untuk mengurus keperluannya sendiri. Jika tidak mandiri di kala pandemi seperti ini, yang ada hanyalah ketertinggalan. Mari Bersama bersikap mandiri dan saling membantu di masa sulit seperti ini. Pasti bisa !
Statistisi Ahli Muda
BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung