Haruskah Tetap Impor?

Tahu dan Tempe merupakan makanan yang sangat lazim disantap masyarakat Indonesia. Namun, sejak akhir Desember 2020,  tahu dan tempe sempat langka di pasaran (Jpnn.com, 4 Januari 2021). Bahkan, produsen tahu-tempe sempat memutuskan mogok produksi selama 1-3 Januari 2021 (Kompas, 4 Januari 2021). Lantas, apakah penyebabnya? Apakah stok kedelai tahu-tempe terbatas atau ada penyebab lainnya yang menyebabkan kelangkaan tempe di pasaran?

Saat ini stok kedelai masih cukup untuk memenuhi kebutuhan produsen tahu dan tempe. Para importir selalu menyediakan stok kedelai di gudang importir sekitar 450 ribu ton. Namun, hal yang terjadi bukannya stok terbatas, melainkan harga bahan baku tempe yang mengalami kenaikan. Harga bahan baku tahu tempe yaitu kedelai mengalami kenaikan dari awalnya 6 ribu sampai 7 ribu per kilogram menjadi 9,4 ribu sampai 10 ribu per kilogram. Berdasarkan data The Food and Agriculture Organization (FAO), harga rata-rata kedelai pada Desember 2020 tercatat sebesar USD 461 ton, naik 6 persen dibanding bulan sebelumnya yang tercatat USD 435 ton (Liputan 6. Com, 4 Januari 2021). Harga kedelai impor sebagai bahan baku yang meningkat, menyebabkan kegalauan penjual untuk menaikkan harga yang menyebabkan kelangkaan tahu dan tempe di pasaran. Bahkan, produsen tahu dan tempe sempat untuk memutuskan mogok produksi pada awal Januari 2021  (Kompas, 4 Januari 2021). Lantas, apakah  Indonesia harus tetap impor? Padahal upaya untuk mengurangi impor dengan meningkatkan produksi kedelai dalam negeri merupakan salah satu nawacita Indonesia.

Indonesia adalah negara dengan konsumsi kedelai terbesar di dunia setelah China. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor kedelai Indonesia sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai 510,2 juta dollar AS atau sekitar 7,52 triliun rupiah (kurs 14,7 ribu rupiah). Sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari AS (Lokadata, 2020). Amerika Serikat merupakan salah satu negara pemasok kedelai terbesar di Indonesia. Selama kurun waktu enam tahun terakhir, volume kedelai impor mencapai 2-7 kali lipat produksi kedelai lokal. Hal ini menunjukkan bahwa 80 persen pasokan kedelai Indonesia berasal dari impor (Detik Finance, 2009). Total produksi kedelai dalam negeri hanya sebesar 982,59 ribu ton, sedangkan kebutuhan kedelai Indonesia mencapai 3,36 juta ton (BPS, 2018). Hal ini menyebabkan terjadinya defisit 2,38 juta ton yang harus dipenuhi pemerintah melalui kegiatan impor. Pada tahun berikutnya, defisit kedelai Indonesia masih bertahan sekitar 2 juta ton, yaitu sebesar 2,25 juta ton. Defisit kedelai Indonesia mengalami penurunan sebesar 130 ribu ton pada tahun 2019 yang disebabkan oleh berkurangnya produksi kedelai Indonesia. Pada tahun 2019, produksi kedelai Indonesia mengalami penurunan dua kali lipat menjadi 420 ribu ton, dari sebelumnya 982,59 ribu ton.

Rata-rata impor kedelai Indonesia mencapai 2 juta-2,5 juta ton per tahun. Dari total volume impor itu, sekitar 70 persen di antaranya dialokasikan untuk produksi tempe, 25 persen untuk produksi tahu, dan sisanya untuk produk lain. Sementara itu, rata-rata kebutuhan kedelai di Indonesia mencapai 2,8 juta ton per tahun. Indonesia sebenarnya pernah mengalami swasembada kedelai pada tahun 1992. Saat itu produksi kedelai dalam negeri mencapai 1,8 juta ton. Sementara, pada tahun 2019, produksi kedelai menyusut drastis tinggal di bawah 800 ribu ton per tahun dengan kebutuhan nasional sebesar 2,5 juta ton, terbanyak untuk diserap industri tahu dan tempe (Lokadata, 2020).

Produktivitas kedelai di Indonesia berkisar 1,5-2 ton per hektar, sedangkan produktivitas di AS mencapai 4 ton per hektar. Produktivitas di AS lebih tinggi lantaran tanaman kedelai mendapatkan penyinaran matahari sekitar 16 jam, sedangkan Indonesia berkisar 12 jam (Kompas, 2021). Selain itu, keuntungan per hektar di tingkat petani masih lebih kecil dibandingkan dengan jagung ataupun padi. Akibatnya, petani memprioritaskan lahannya untuk menanam jagung dan padi. Hal ini terlihat dari nilai produksi jagung dan padi, yang jauh lebih besar dibandingkan kedelai. Produksi padi tahun 2018 mencapai 83,04 juta ton, sedangkan konsumsinya hanya sebesar 30,4 juta ton beras. Begitu juga dengan jagung, pada periode yang sama produksinya mencapai 30,05 juta ton, sedangkan perhitungan kebutuhan konsumsinya sekitar 15,58 juta ton. Sementara itu, pada tahun 2018, produksi kedelai hanya mencapai 982,59 ribu ton, sedangkan kebutuhan konsumsi kedelai hanya mencapai 3,36 juta ton. Berbeda dengan komoditas jagung dan padi yang mengalami surplus, komoditas kedelai justru mengalami defisit karena produksi yang ada belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat (Kementerian Pertanian, 2018).

 

Petani di Indonesia tidak membudidayakan kedelai secara intensif, melainkan kedelai dijadikan sebagai tanaman sampingan. Hal inilah yang menyebabkan produksi kedelai setiap tahun tidak meningkat signifikan, bahkan tidak pernah menembus angka diatas 1 juta ton per tahun. Seandainya kedelai dijadikan tanaman utama disamping padi dan jagung, maka bisa dipastikan akan dapat memenuhi kebutuhan kedelai masyarakat Indonesia.

Indonesia adalah negara kaya, dengan kekayaan sumber daya alamnya seharusnya bisa menjadi negara yang mandiri dan tidak memiliki ketergantungan dengan negara lain. Untuk itu, sebagai upaya meningkatkan produksi kedelai Indonesia dan mengurangi impor kedelai dari negara lain, maka perlu kerjasama dari pemerintah dan stakeholder lainnya melalui peningkatan luas lahan pengusahaan kedelai, perbaikan kondisi tanah dan menjadikan kedelai sebagai komoditas utama budidaya tanaman pangan.(*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *