Dampak pandemi Covid-19 terhadap kemiskinan di Indonesia tak terhindarkan. Tingkat kemiskinan dipastikan naik dan jumlah penduduk miskin bertambah. Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Maret 2020 mengalami kenaikan dari 9,22 persen menjadi 9,78 persen. Pandemi Covid-19 secara tidak langsung telah menambah jumlah penduduk miskin di Indonesia per Maret 2020 sebanyak 1,63 juta orang, ditemani persentase kemiskinan yang naik 0,56 persen poin.
Lebih dari 26 juta jiwa penduduk Indonesia berkubang di bawah garis kemiskinan. Kondisi ini diperparah meningkatnya Indeks Kedalaman (dari 1,50 jadi 1,61) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (dari 0,36 jadi 0,38). Hal ini memberikan gambaran bahwa kondisi penduduk miskin semakin memburuk.
Dampak tekanan ekonomi pandemi Covid-19 menyasar ke berbagai lapisan masyarakat. Masyarakat di perkotaan merasakan tekanan yang lebih berat daripada di perdesaan. Kenaikan kemiskinan di perkotaan (naik 1,3 juta orang) hampir empat kali lipat dibanding di perdesaan (naik 333,9 ribu orang). Pulau Jawa menjadi daerah yang paling parah terdampak pandemi ini. Kenaikan angka kemiskinan di Pulau Jawa berada di atas rata-rata nasional karena kasus positif Corona terbanyak di Pulau Jawa.
Pemicu
Memasuki Triwulan II 2020, ekonomi memang lesu akibat dampak pandemi Covid-19. Penyebabnya adanya kebijakan terkait pencegahan virus Corona serta adanya himbauan “di rumah aja” berdampak langsung terhadap permintaan konsumen yang menurun drastis. Sejak Presiden Jokowi mengumumkan dua WNI di Depok positif Corona, beberapa Pemda mulai memberlakukan karantina wilayah untuk mencegah penyebaran Virus Corona pada akhir Maret 2020 (Kota Tegal, Kota Tasikmalaya, Bali, Papua). Beberapa wilayah mulai menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dimulai DKI Jakarta, Jabar, Banten serta Riau.
Secara umum tingkat kemiskinan di Indonesia meningkat dikarenakan perekonomian yang tumbuh melambat. Ekonomi Indonesia triwulan I-2020 terhadap triwulan I-2019 tumbuh sebesar 2,97 persen (y-on-y), melambat dibanding capaian triwulan I-2019 yang sebesar 5,07 persen Pun dengan pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga pada Produk Domestik Bruto (PDB) Kuartal I 2020 juga melambat. Pengeluaran konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 2,84 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2019 yang sebesar 5,02 persen. Realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I yang hanya mencapai 2,97 persen ditunjang oleh pelemahan pada enam sektor. Khusus untuk perlambatan pertumbuhan di sektor pertanian pada kuartal I terjadi akibat adanya pergeseran puncak panen raya yang semula bulan Maret ke April.
Di sisi lain, kenaikan harga barang pokok seperti beras (1,78 persen), daging ayam ras (5,53 persen), minyak goreng (7,06 persen), telur ayam ras (11,10 persen) dan gula pasir (13,35 persen) yang cukup tinggi, mengakibatkan kenaikan kemiskinan semakin sukar dibendung. Sementara itu, kenaikan rata-rata pengeluaran rumah tangga lapisan terbawah hanya tumbuh 1,67 persen (September 2019-Maret 2020), peningkatannya lebih rendah dibandingkan pertumbuhan garis kemiskinan (GK) yang sebesar 3,20 persen. Diperparah lagi rendahnya kenaikan upah buruh tani dan buruh bangunan. Upah buruh tani hanya naik 1,53 persen, buruh bangunan sekadar bergeser 0,67 persen. Angka tersebut relatif lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2019, masing-masing tumbuh sebesar 2,29 persen dan 2,24 persen. Walhasil, ketimpanganpun semakin meningkat (dari 0.380 jadi 0,381).
Inflasi umum selama periode September 2019 – Maret 2020 dilaporkan sebesar 1,30 persen lebih rendah dari periode yang sama (September 2018 – Maret 2019) yakni sebesar 1,52. Melemahnya tekanan inflasi menunjukkan daya beli masyarakat terguncang di era pandemi Covid-19 ini.
Banyak orang kehilangan mata pencaharian karena PHK. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan per 20 April 2020, sebanyak 2.084.593 pekerja dari sektor formal dan informal terdampak Covid-19. Dengan rincian, sebanyak 1.304.777 pekerja formal dirumahkan dari 43.690 perusahaan; 241.431 pekerja formal di-PHK dari 41.236 perusahaan; dan sektor informal kehilangan 538.385 pekerja dari 31.444 perusahaan/UMKM. Kementerian Perindustrian mengungkapkan 10 sektor industri terpukul akibat virus Covid-19. Jumlah tersebut mewakili 60 persen dari total industri di Indonesia. Adapun program ketenagakerjaan seperti kartu pra kerja juga belum memberikan dampak yang cukup signifikan.
Rentan
Berdasarkan riset World Data Lab yang dirilis Mei 2020, Indonesia menempati peringkat ketiga sebagai negara dengan peningkatan angka kemiskinan tertinggi akibat Covid-19, yaitu sekitar tiga juta orang. Peringkat pertama India, sebanyak 10 juta orang, disusul Nigeria, yakni delapan juta orang. Pandemi menyebabkan pergeseran status sosial-ekonomi dari penduduk menengah menjadi rentan dan dari miskin menjadi miskin kronis.
Persentase penduduk hampir miskin mencapai 7,45 persen atau sekitar 19,91 juta orang. Penduduk hampir miskin yang bekerja di sektor informal mencapai 12,15 juta orang atau 61,03 persen (Susenas, Maret 2019). Kelompok ini merupakan kelompok penduduk yang rentan terhadap kemiskinan dan paling terdampak dengan adanya pandemi Covid-19 ini.
Tanpa intervensi Bansos, masyarakat lapis bawah akan merasakan tekanan ekonomi paling berat. Data terakhir menunjukkan coverage data Bansos mencapai lebih dari 30 juta KK. Artinya ada perluasan sasaran Bansos sekitar 5,6 juta lebih banyak dari jumlah penduduk miskin Maret 2020. Mereka ikut terdampak pandemi Covid-19. Ditambah lagi dengan Bansos kabupaten/kota dan BLT Dana Desa, harapannya guncangan ekonomi masyarakat lapis bawah dapat tertangani dengan baik.
Krisis sosial-ekonomi akibat dampak Covid-19 harus ditangani secara holistik. Jika tidak, niscaya angka kemiskinan September 2020 akan semakin melonjak. Bappenas memprediksi jumlah penduduk miskin akan melonjak hingga 28,7 juta, INDEF (30 juta), SMERU (33,24 juta), Word Bank (34,4 juta) dan Core (37,9).
Pemerintah tahu bagaimana menanggulangi kemiskinan ini. Bantuan sosialpun dikucurkan. Program Bansos regular terkait Covid-19 diperluas mulai April 2020, seperti: Penambahan Keluarga Penerima Manfaat (KPM) pada Program Sembako menjadi 20 juta KPM (semula 15,2 juta KPM) dan indeks bantuan menjadi Rp200 ribu (semula Rp150 ribu), hingga Desember 2020. Jumlah penerima Program Keluarga Harapan (PKH) ditingkatkan dari 9,2 juta KPM menjadi 10 juta KPM. Sedangkan besaran manfaatnya dinaikkan 25 persen. Program Bansos Non-Reguler seperti : Bantuan sosial khusus bagi keluarga rentan terdampak Covid-19 di Jabodetabek; Bantuan Sosial Tunai (BST) khusus bagi keluarga rentan terdampak Covid-19 di 33 provinsi dan tambahan dari Program Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD).
Bantuan Sembako, BST dan BLT-DD merupakan analgesik, PKH juga sangat penting, tetapi bersifat jangka panjang. Jika pada krisis moneter 1998 lalu, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi dewa penolong untuk membangkitkan ekonomi rakyat. Saat ini, justru mereka paling terdampak langsung akibat pandemi Covid-19. Pemulihan UMKM terdampak pandemi Covid-19 adalah hal sangat krusial bagi keselamatan ekonomi nasional, termasuk untuk menahan laju peningkatan kemiskinan yang dikhawatirkan menuju titik esktrim. Data menunjukkan, sebagian besar tenaga kerja Indonesia ada di sektor ini dan kontribusinya terhadap PDB juga besar.
Pemberdayaan UMKM merupakan pemberdayaan bagi yang sudah mempunyai akses terhadap faktor produksi. Sedangkan upaya yang penting adalah pemberian akses terhadap faktor produksi bagi penduduk miskin dan rentan miskin. Pengembangan industri rumahan seyogyanya diperkuat untuk merespon kebutuhan alat kesehatan (masker dan hand sanitizer). Perlu pelatihan dan bimbingan agar para pekerja di sektor tersebut terus berkembang mendukung konsep New Normal. Upaya ini yang termasuk the real pro-poor policy.
Statistisi Ahli Muda
BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung