Pandemi Corona belum berniat “pulang” hingga saat ini. Alih alih menunjukkan penurunan kasus, si COVID-19 telah lalu lalang di hampir seluruh Provinsi di Indonesia. Padahal Rapid Test belum dilakukan dengan maksimal di Indonesia hingga saat ini. Tentu saja total kasus yang terekspose saat ini adalah angka yang underestimate. Di balik itu semua, Corona bagaikan dua muka yang berbeda dimana di satu sisi membuat ekonomi jalan di tempat, di sisi lain memberikan kualitas udara dan lingkungan yang membaik bagi bumi.
Membaiknya kualitas udara dan lingkungan global, merupakan dampak tak terduga dari melemahnya ekonomi akibat pandemi Virus Corona COVID-19. Virus ini telah mendorong roda ekonomi global mati suri. Bukan hanya di Indonesia saja, negara-negara lain di dunia juga mengalami hal serupa. Banyaknya pabrik-pabrik tutup dan mobil-mobil yang terparkir di garasi, membuat polusi udara mereda di sejumlah kota dunia. Pemandangan langit cerah yang tidak biasa karena pabrik-pabrik di kawasan industri seolah menjadi momen langka. Badan Antariksa Eropa (ESA) merelease fakta berupa gambar-gambar yang menunjukkan berkurangnya tingkat nitrogen dioksida, produk sampingan dari pembakaran bahan bakar fosil yang menyebabkan masalah pernapasan. Berita baik ini seolah menjadi pelipur lara bagi bumi yang selama ini manusia huni.
Jumlah kasus infeksi virus corona yang dilaporkan resmi di dunia kini telah menembus angka satu juta. Ini menandai akselerasi tajam dalam jumlah kasus infeksi dan kematian dalam beberapa pekan terakhir, seiring pandemi COVID-19 terus menyebar cepat. Menurut penghitungan Agence France Presse (AFP), setidaknya 1.000.036 kasus telah dilaporkan di seluruh dunia dengan 51.178 kematian (3/4/2020). Angka ini telah meningkat dua kali lipat sejak 27 Maret lalu. Hingga kini, setidaknya 186 ribu orang di dunia telah dinyatakan sembuh dari penyakit mematikan ini.
Berbicara masalah khusus tentang bagaimana pemerintah Indonesia menangani pandemi ini tentu saja menarik untuk dibahas lebih dalam. Banyak kalangan meminta untuk karantina mandiri di daerahnya masing-masing tidak terkecuali Provinsi Kepualauan Bangka Belitung. Sempat beredar surat himbauan untuk menutup sementara jalur penerbangan dari Bandara Depati Amir yang menuai berbagai tanggapan dari berbagai kalangan. Akhirnya muncul kebijakan batasan penerbangan keluar masuk dari Pulau Bangka Belitung demi membatasi mobilitas masyarakat. Yang paling ekstrem adalah upaya lockdown yang ingin diajukan kepada pemerintah untuk memutus rantai penyebaran COVID-19. Ini menjadi skenario terburuk di kala krisis seperti yang telah diterapkan di Wuhan, Italia dan Iran.
Bukannya tanpa sebab pemerintah seolah “menunda” lockdown. Selain secara Undang-Undang , pemerintah wajib menanggung biaya hidup masyarakat selama masa lockdown, pada tahap pencegahan dengan social distancing saja konsumsi rumah tangga sudah menurun secara drastis. Lockdown akan sangat memukul laju ekonomi Indonesia secara jangka pendek dan menguras anggaran cukup dalam. Hal ini karena kota dengan kasus terbanyak virus corona ialah Jakarta, yang merupakan pusat pemerintahan, keuangan, dan perdagangan Indonesia. Jika Jakarta macet perputaran arus modalnya, maka lambat laun akan berdampak pada provinsi-provinsi lainnya. Hal ini jauh berbeda dengan kasus di China dimana daerah Wuhan yang harus lockdown. Shanghai dan Beijing sebagai pusat bisnis tetap dibuka walupun sempat memberlakukan sistem bekerja dari rumah.
Meneropong Lockdown di Babel
Jika sampai benar terjadi lockdown di Babel, sungguh itu akan menjadi skenario terburuk yang mau tidak mau harus dihadapi bersama. Akan ada dua pilihan sebagai bentuk ujian di momen aktivitas dibatasi yakni menjadi harapan bagi sekitar ataukah posisi kita akan menjadi hambatan. Tentu saja masyarakat yang terkategorikan miskin akan menjadi perhatian lebih bagi pemerintah untuk di subsidi. Berdasarkan data kemiskinan terupdate per wilayah Bangka Belitung di 2019, BPS memotret bahwa kabupaten/kota dengan penduduk miskin terbanyak terdapat di Kabupaten Bangka sebanyak 16,52 ribu jiwa. Disusul di posisi kedua yakni Kabupaten Beltung dengan jumlah penduduk miskin sebanyak 11,88 ribu jiwa. Kedua wilayah yang berbeda pulau ini akan menjadi sorotan utama distribusi bahan pokok saat masa lockdown. Memenuhi kebutuhan penduduk miskin bukan menjadi masalah yang paling utama, karena akan muncul masalah berikutnya yakni pendistribusian dan target penduduk yang layak menerima bantuan. Belum lagi jika terjadi korupsi sebelum sampai kepada targetnya, di momen itulah kita akan diposisikan sebagai hambatan yang sebenarnya di kala krisis. Selain Kabupaten Bangaka dan Belitung, Kabupaten Belitung Timur juga patut menjadi perhatian karena merupakan Kabupaten dengan persentase penduduk miskin (Po) terbesar yakni 6,60 persen.
Lockdown tidak berarti sama bagi semua kalangan. Bagi mereka yang pendapatannya ditanggung negara tentu tidak akan khawatair. Selain dapat berkumpul bersama keluarga di rumah, mereka tidak khawatir akan pemenuhan konsumsi mereka. Berbeda halnya bagi sebagian orang yang sumber rezekinya harus dijemput keluar rumah. Masa-masa lockdown akan berarti momen menguras tabungan dan pengharapan bantuan dari sana-sini. Yang terpenting lagi, dengan tidak keluar rumah di saat tidak urgen, anda telah menjadi harapan bagi kelangsungan hidup bersama. Namun jika anda bersi keras dengan keluar rumah tanpa sebab ditambah membagikan informasi yang mengundang kecemasan maka anda akan terkategorikan sebagai sebagai hambatan. Mari bersama ambil peran dalam masa krisis melawan Pandemi Corona. Krisis ini pasti berlalu tinggal bagaimana kita memposisikan diri kita di saat krisis melanda. It’s not just about how to bring the economy back to life, it’s more about how to bring people back to life after crisis.
s.bps.go.id/coretanadis