Dewasa ini, Self Distancing merupakan metode pencegahan penularan virus yang hingga saat ini terbukti ampuh mencegah penyebaran virus Corona. Sementara vaksin belum ditemukan, upaya self distancing dengan menjaga jarak dari kerumunan dan menahan diri merupakan upaya minimal dari warga negara agar tidak dicap abai. Menurut WHO, Virus Corona secara statistik didapati lebih parah ketimbang flu. Tingkat kematian akibat flu musiman di bawah 1 persen dan kematian akibat Virus Corona sudah mencapai 3,4 persen. Dilansir dari France24, pemimpin WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan bahwa saat ini dunia berada di wilayah yang belum dipetakan dan dunia belum pernah melihat patogen pernapasan yang mampu menular di antara masyarakat secepat ini. Penularan virus ini dapat diredam dengan tindakan-tindakan yang benar.
Belajar dari pengalaman sejarah, upaya self distancing sebagai tindakan melemahkan dan menghentikan penularan virus bukanlah yang pertama kali terjadi. Di cerita sejarah peradaban Islam, kasus serupa terjadi yakni perjalanan Umar bin Khattab ra bersama para sahabatnya berjalan dari Madinah menuju negeri Syam. Sesaat sebelum mencapai perbatasan Syam, terdengar kabar bahwa negeri tersebut sedang mengalami wabah Tha’un Amwas. Wabah ini dikenal sebagai penyakit menular yang memiliki gejala munculnya benjolan di seluruh tubuh yang akhirnya pecah dan mengakibatkan pendarahan. Menurut catatan sejarah, sekitar 20 ribu orang wafat termasuk Gubernurnya sendiri yakni Abu Ubaidah ra. Singkat cerita ditunjuklah Amr bin Ash ra memimpin negeri Syam dan dengan kecerdasannya beliau berujar kepada masyarakat negeri Syam bahwa penyakit ini menyebar layaknya kobaran api, maka jaga jaraklah dan berpencarlah kalian dengan menempatkan diri di gunung-gunung. Wabah pun berhenti layaknya api yang padam karena tidak bisa lagi menemukan bahan yang dibakar. Berpencarnya penduduk Syam pada sejarah di atas inilah yang saat ini dikenal dengan nama Self distancing.
Inti dari self distancing ini sejatinya ingin mengelompokkan si pembawa virus (carrier), korban, dan yang negatif Corona. Dengan membatasi mobilitas masyarakat dan diam di rumahnya masing-masing, secara tidak langsung meminimalkan virus untuk melompat dari inang tubuh satu ke tubuh lainnya. Mereka yang sehat agar fokus di rumah dan mengurangi interkasi sosial, si pembawa virus harus tetap terjaga imunitasnya agar virus tidak menyerang dan yang terakhir yakni si korban positiv Corona berkumpul di fasilitas kesehatan untuk mendapatkan penanganan terbaik. Selain untuk penyembuhan, berkumpulnya si korban Corona ini lebih bertujuan untuk membatasi penyebaran virus ini ke masyarakat yang lebih luas.
Corona dan Statistik Demografi Indonesia
Bukan menjadi rahasia lagi jika memperbesar jumlah pengujian yang sangat tinggi dapat memperkecil tingkat kematian akibat Corona. Mari kita bandingkan kasus di dua negara yang dalam sepekan terakhir gencar diberitakan media internasional yakni Korea Selatan dan Italia. Dikarenakan tingkat pengujian yang sangat tinggi di Korea Selatan, tingkat kematian di antara pengidap Corona dapat ditekan ke level 0,6 persen. Sementara untuk kasus di Italia per 19 Maret kemarin telah diketahui sebanyak 2.978 orang dari 35.713 kasus terinfeksi yang telah meninggal dunia. Angka ini cukup tinggi hingga 8,3 persen , padahal secara global tingkat kematian Corona berada di level 3-4 persen saja.
Fakta menarik lainnya yang perlu dibahas di sini adalah Italia merupakan negara dengan populasi tertua kedua di dunia setelah Jepang. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar penduduk Italia amat berisiko jatuh sakit jika terinfeksi virus Corona. Terlalu banyaknya jumlah pasien terinfeksi Corona, Italian Society of Anaesthesia, Analgesia, Resuscitation and Intensive Therapy (SIARRTI) merilis rekomendasi etik sebagai arahan bagi para dokter mengenai prioritas siapa yang seharusnya ditempatkan pada ranjang perawatan intensif. Bukannya menempatkan pasien berdasarkan siapa yang datang paling awal, tetapi hemat mereka memberi anjuran agar para petugas medis berfokus pada pasien-pasien yang memiliki peluang pulih lebih tinggi. Hal ini terdengar kejam namun keputusan tersebut tentu telah melalui banyak pertimbangan demi kelangsungan negara di masa yang akan datang. Data demografi Indonesia sendiri berada pada posisi yang cukup aman dan tergolong dapat bertahan apabila terpapar Corona. Berdasarkan proyeksi penduduk 2020 yang di release Badan Pusat Statistik, jumlah penduduk usia produktif (15-65 tahun) mencapai 185,22 juta jiwa atau sekitar 68,7 persen dari total populasi. Ini merupakan range umur yang dianggap tahan dan memiliki peluang sembuh besar dari Corona. Sementara kelompok usia belum produktif (0-14 tahun) sebanyak 66,05 juta jiwa atau 24,5 persen, dan kelompok usia sudah tidak produktif (di atas 65 tahun) sebanyak 18,06 juta jiwa atau 6,7 persen dari total populasi. Kedua kelompok usia ini memiliki peluang sembuh yang kecil. Perlu adanya pengawasan pencegahan dan meminimalkan kontak bagi kedua kelompok umur ini di dunia luar akan menekan tingkat kematian akan Corona. Tentu regulasi darurat seperti di Italia dengan mengorbankan kaum lansia yang terpapar tidak kita harapkan terjadi juga di Indonesia. Dengan penanganan yang tepat berdasarkan data karakteristik demografi pasien, bisa jadi langkah terbaik dalam melakukan pencegahan terhadap Pandemi Covid-19.
Dengan adanya data demografi yang tepat tentu pemerintah dapat mengambil kebijakan dengan cukup baik. Periode sensus penduduk online yang dilaksanakan pada 15 Februari – 31 Maret 2020 ini menjadi momen penting dalam membangun database yang kuat di masa mendatang. Tentu tanpa kita sadari dengan kita mengisi tautan sensus.bps.go.id kita dapat membantu pemerintah dalam memberikan kebijakan penanganan virus seperti yang terjadi saat ini. Mari bersama bangun kekompakan dalam mengisi sensus penduduk online tanpa harus keluar rumah. Self distancing tetap terjaga, pemerintah punya data untuk berjaga-jaga.
Statistisi Ahli Muda
BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung