Tujuan keempat pembangunan berkelanjutan (SDG’s) adalah memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara, juga mendukung kesempatan belajar seumur hidup bagi semua. Namun, di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ditemukan ribuan orang umur 7-24 tahun yang tidak/belum pernah bersekolah. Padahal sampai saat ini, indikator pendidikan kita masih mengacu pada sekolah. Artinya, masih ada persoalan pendidikan yang perlu ditangani di Negeri Laskar Pelangi ini.
Dampak langsung anak tak sekolah adalah buta huruf. Berdasarkan hasil survei (Susenas) diketahui bahwa dua ribuan penduduk Babel usia 15-24 tahun buta huruf. Kalau pada usia remaja ini masih buta huruf, tentu lebih sulit menuntaskannya. Aturan masuk Sekolah Dasar mensyaratkan usia maksimal 15 tahun. Jadi, mereka tak mungkin lagi masuk SD, kecuali mengikuti kejar paket A.
Persoalannya, pengelola kejar paket A ini terbatas. Daya tampungnya pun hanya ratusan ribu se-Indonesia. Lantas bagaimana solusi terbaik untuk memastikan pendidikan yang inklusif dan berkualitas setara? Sebaiknya kita berpaling ke belakang untuk melihat apa saja yang ditargetkan dalam tujuan pembangunan sebelumnya.
Sejatinya Indonesia menargetkan semua anak dapat menyelesaikan pendidikan dasar. Laki-laki atau perempuan tanpa kecuali tak ada yang putus sekolah. Target ini sudah masuk dalam tujuan pembangunan milenium sebelumnya (MDGs) yang berakhir pada tahun 2015. Tetapi, sampai tahun ini masih ada yang tidak pernah sekolah.
Mengapa Tak Sekolah?
Masalah ekonomi masih mungkin menjadi alasan orangtua tak membawa anaknya ke sekolah. Meski pemerintah telah menyiapkan berbagai jaring pengaman seperti Kartu Indonesia Pintar, masih saja ada yang lolos. Bisa jadi pemberi kartu yang kurang tanggap atau kuota kurang. Bisa juga si anak enggan sekolah karena jarak tempat tinggalnya jauh, dan berbagai alasan lainnya.
Sesungguhnya aneh kalau ada yang tak sekolah pada zaman teknologi informasi ini. Orang-orang bisa bekerjasama meski tak saling bersentuhan fisik. Lewat internet kita bisa terhubung dalam satu jaringan. Inilah era inovasi yang bertabur digitalisasi, tapi mengapa masih ada buta huruf karena tak sekolah.
Solusi Bersama
Pembangunan sejatinya merupakan perluasan pilihan bagi kita. Contoh sederhana, pembangunan pendidikan menuntaskan buta huruf. Dengan melek huruf orang bisa memilih buku mana yang ingin dibacanya. Bayangkan orang yang buta huruf, mereka perlu bantuan orang lain untuk sekadar membaca alamat.
Maka, masalah pembangunan berkelanjutan sudah seharusnya menjadi perhatian bersama. Ada kalanya kita perlu bahu membahu membantu orang-orang yang masih tertinggal di belakang, termasuk buta huruf. Ini adalah persoalan masa depan kehidupan manusia.
Kita semua tentu bertanggungjawab atas kealpaan atau kekurang tanggapan terhadap sekitar. Kalau kita tahu ada anak yang tidak sekolah, maukah kita membantunya? Bantuan bisa berupa informasi, entah lewat media sosial agar solusinya bisa dicari bersama. Semoga masalah buta huruf segera tuntas.
Statistisi Ahli Madya
BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung