Benarkah Masyarakat Indonesia Telah Antikorupsi?

Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja mengumumkan indeks perilaku antikorupsi di masyarakat Indonesia (Berita Resmi Statistik 16 September 2019). Benarkah masyarakat Indonesia telah antikorupsi?

Survei Perilaku Antikorupsi (SPAK) yang dilakukan BPS pada Maret 2019 memberikan potret kecenderungan korupsi di masyarakat, mulai dari level rumah tangga, komunitas, hingga publik secara luas. Survei jenis ini yang dilakukan sejak 2012 adalah yang pertama di dunia.

SPAK memberi informasi yang lebih komprehensif terkait pendapat dan pengalaman yang merefleksikan perilaku korupsi di masyarakat. SPAK bertujuan untuk mengukur tingkat permisifitas masyarakat terhadap perilaku anti korupsi dengan menggunakan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK). Survei ini hanya mengukur perilaku masyarakat dalam tindakan korupsi skala kecil (petty corruption) dan tidak mencakup korupsi skala besar (grand corruption). Data yang dikumpulkan mencakup pendapat terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berhubungan dengan layanan publik dalam hal perilaku penyuapan (bribery), pemerasan (extortion), dan nepotisme (nepotism).
Hasil Survei Perilaku Anti Korupsi (SPAK) 2019

SPAK 2019 menghasilkan indeks perilaku antikorupsi (IPAK) sebesar 3,70 dari skala 0 sampai 5. Angka ini di bawah angka perkiraan pemerintah, yaitu 4,00. Meskipun IPAK meningkat dibanding tahun 2018, IPAK Indonesia tahun 2019 masih jauh dari target yang dicanangkan Jokowi dalam RPJMN. Artinya upaya untuk mencapai toleransi nol terhadap korupsi masih menemui jalan panjang.

Nilai indeks semakin mendekati 5 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin anti korupsi, sebaliknya nilai IPAK yang semakin mendekati 0 menunjukkan bahwa masyarakat berperilaku semakin permisif terhadap korupsi.

IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu Dimensi Persepsi dan Dimensi Pengalaman. Pada tahun 2019, nilai Indeks Persepsi sebesar 3,80 lebih tinggi dibanding Indeks Pengalaman sebesar 3,65. Artinya dari sisi pengetahuan (hati nurani) masyarakat cenderung menolak terhadap segala bentuk korupsi, namun dari sisi perbuatan yang terjadi malah sebaliknya. Hati nurani masyarakat menolak terhadap segala tindakan korupsi tetapi pengalaman sehari-hari lebih dekat kepada perbuatan korupsi.

IPAK masyarakat perkotaan lebih tinggi (3,86) dibanding masyarakat perdesaan (3,49). Semakin tinggi pendidikan, masyarakat cenderung semakin anti korupsi. IPAK masyarakat berpendidikan SMP ke bawah sebesar 3,57; SMA sebesar 3,94; dan di atas SMA sebesar 4,05.

Masyarakat pada usia 40–59 tahun paling anti korupsi dibanding kelompok usia lain. IPAK masyarakat berusia 40 tahun ke bawah sebesar 3,66; usia 40–59 tahun sebesar 3,73; dan usia 60 tahun atau lebih sebesar 3,66.

Dari sisi indikator tunggal, sekitar 74 persen masyarakat menyatakan para istri seharusnya mempertanyakan pemberian uang di luar penghasilan resmi yang diberikan suami. Namun, yang menarik, masih ada sekitar 26 persen masyarakat Indonesia yang memandang bahwa sang istri tidak perlu mempertanyakan asal-usul uang yang diberikan suami. Masyarakat yang menganggap wajar istri tidak mempertanyakan uang ”tidak resmi” dari suami adalah refleksi dari nilai budaya yang memandang penghasilan tambahan dari kerja ”kantoran” sebagai rezeki. Rezeki tersebut tidak identik dengan uang hasil mencuri, tetapi lebih mirip ke rezeki pedagang yang memperoleh keuntungan dari hasil usahanya.

Sekitar 23 persen masyarakat menganggap kendaraan dinas identik dengan kendaraan pribadi yang dapat digunakan untuk keperluan keluarga. Penggunaan kendaraan dinas untuk kepentingan keluarga adalah perwujudan dari budaya feodal bahwa kekuasaan identik dengan keistimewaan bagi diri dan keluarga.

Masih ada sekitar 13 persen masyarakat yang mengharapkan uang pemberian dari para calon kepala daerah di pilkada. Menerima suap pilkada merupakan refleksi dari mentalitas serakah (greedy behavior) untuk memperoleh uang tanpa memedulikan standar etik dan moral.

Memberikan antaran barang dan uang kepada tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh formal (Kades/Lurah/Ketua RT/Ketua RW)) sebagai penghormatan saat menjelang hari raya atau hajatan/kenduri sebagai hal biasa. Transfer aliran kekayaan dari lapisan masyarakat bawah ke lapisan di atasnya justru masih menjadi kebiasaan lebih dari 30 persen masyarakat Indonesia. Kebiasaan yang di ”bawah” harus memberi yang di ”atas” mengukuhkan pemahaman kita tentang masih bertahannya budaya upeti.

Dalam lingkup publik, meski tindakan nepotisme ditentang 79 persen masyarakat, 30 persen masyarakat masih menganggap wajar bagi seseorang yang bekerja di pemerintahan atau swasta untuk memasukkan kerabatnya bekerja tanpa harus melalui proses seleksi. Bahkan, 21-32 persen masyarakat masih memandang wajar memberi uang lebih dalam pengurusan SIM dan STNK, memberi uang damai kepada polisi agar tidak ditilang, memberi uang kepada guru saat kenaikan kelas dan memberi uang kepada petugas untuk mempercepat urusan administrasi (KK & KTP)

Akar korupsi itu ada di masyarakat. Perilaku permisif atau antikorupsi di berbagai lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan di sektor publik adalah tunas yang tumbuh dari akar tersebut.

Korupsi yang terjadi di jajaran birokrasi akan lebih mudah diberantas. Sebaliknya, jika akarnya (yang ada di masyarakat) memang permisif terhadap korupsi, upaya pemberantasan yang dilakukan akan berhadapan dengan tembok perlawanan yang kuat.

Nilai-nilai budaya yang permisif terhadap perilaku korupsi masih bertahan di masyarakat. Masyarakat yang memiliki mental korup akan mempengaruhi institusi pemerintahan untuk berbuat korup. Jika mentalitas korup ini memasuki institusi yang tidak memiliki nilai-nilai budaya integritas, resistensi terhadap upaya pemberantasan korupsi akan sangat kuat. Dan, hasil SPAK dapat menjadi pijakan penting bagi upaya membangun strategi pemberantasan korupsi yang lebih komprehensif dan melibatkan semua pihak.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *