Sensus Penduduk dan Pembangunan Daerah

Pada 12 Juni yang lalu Presiden Jokowi telah menandatangani Perpres Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia. Kehadiran Perpres ini merupakan ‘angin segar” bagi sinkronisasi data antarkementerian/lembaga. Data kependudukan yang dikeluarkan oleh Ditjen Dukcapil, Badan Pusat Statistik (BPS) dan kementerian/lembaga lainnya acapkali terjadi perbedaan. Permasalahan ini tidak kunjung selesai dari tahun ke tahun. Penyebabnya masing-masing kementerian/lembaga memiliki metode, konsep, definisi, dan waktu pengumpulan data yang berbeda.

Perbedaan data menyebabkan pemerintah kesulitan memilih data mana yang paling benar dan bisa dijadikan pedoman dalam membuat kebijakan. Ini membuat keberadaan data terpadu menjadi penting untuk mewujudkan sinergitas pembangunan. Untuk itu Satu Data Indonesia merupakan solusi bagi tata kelola data pemerintah guna menghasilkan data yang akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan serta rnudah diakses dan dibagipakaikan antarinstansi pusat dan daerah.
Untuk itu pada Sensus Penduduk 2020 (SP2020) mendatang, BPS akan menggunakan data administrasi kependudukan dari Ditjen Dukcapil. Ini pertama kali sensus penduduk di Indonesia memanfaatkan data registrasi penduduk. SP2020 merupakan momen yang sangat berharga untuk perbaikan pengelolaan data kependudukan di Indonesia sekaligus mewujudkan satu data kependudukan Indonesia.

Selain itu hasil sensus penduduk ibarat cermin yang menyajikan lukisan berharga tentang siapa penduduk suatu bangsa. Karena sensus dilakukan pada semua orang, maka hasilnya pun dapat menggambarkan keadaan manusia Indonesia di setiap wilayah dan setiap sudut negeri ini. Berpedoman pada data hasil sensus inilah, rencana pembangunan pada skala nasional, provinsi kabupaten/kota hingga tingkat terkecil (kecamatan, desa/kelurahan, RT/RW) dapat disusun agar mencapai hasil maksimal terkait upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Beragam pihak masih kecewa dengan kinerja pembangunan di banyak provinsi dan kebupaten/kota yang sedikit sekali berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerahnya. Padahal hakikat otonomi daerah adalah bahwa dengan diberikannya kewenangan keuangan, politik, dan kekuasaan, memungkinkan kabupaten/kota dan provinsi menyusun perencanaan program dan agenda pembangunan yang paling cocok dengan realitas masyarakat di daerah tersebut.

Kebutuhan riil masyarakat dapat dilihat dari data statistik yang benar. Data dapat mengungkap potret kebutuhan masyarakat. Lebih dari sepuluh tahun setelah sensus terakhir tahun 2010, praktis selama ini perencanaan pembangunan di daerah lebih banyak disandarkan pada data makro dengan agregasi kabupaten atau provinsi. Konsekuensinya, daerah memiliki keterbatasan pengetahuan terkait fenomena perubahan demografis, sosial dan ekonomi di level kecamatan dan desa/kelurahan.

Setiap daerah masih sangat perlu untuk selalu memutakhirkan data terkait komposisi, struktur, karakteristik, dan perwajahan sosial-ekonomi penduduk. Data statistik jenis ini sangat dibutuhkan dalam rangka membuat perencanaan pembangunan wilayah kecil (small spatial for development planning) untuk menyejahterakan masyarakat. Masalah etnisitas, suku bangsa, bahasa, dan agama yang dapat dikupas dari sensus bisa memberikan gambaran fenomena sosial di masyarakat, dari berbagai aspek, seperti sosial, politik, budaya dan ekonomi yang luas.
Bagaimana kabupaten/kota dapat mengisi otonomi daerah dan membuat masyarakatnya sejahtera jika situasi obyektif perwajahan sosial-ekonomi di setiap segmentasi masyarakatnya justru tidak dikenali? Di sinilah salah satu nilai strategis dari data yang biasanya dihasilkan dari sensus. Tersedianya data spasial demografis dan keadaan sosial-ekonomi penduduk akan mempermudah kita dalam mendesain strategi besar (grand strategy) pembangunan wilayah dan pembangunan SDM serta memanfaatkan momentum bonus demografi.

Selama ini kabupaten/kota di Indonesia, menyandarkan penggunaan data hasil survei/pendataan yang walaupun kualitas datanya cukup baik, belum cukup untuk menggambarkan permasalahan di wilayah-wilayah kecil seperti di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan. Benar, hampir setiap desa di Indonesia memiliki papan monografi desa yang diisi beberapa jenis data, tetapi akurasinya jauh dari realitas dan angkanya dibuat tanpa melalui tahapan standar prosedur pendataan statistik secara benar. Namun, data ini tetap digunakan. Akibatnya, karena input datanya kurang layak, maka output-nya adalah program pembangunan yang mubazir dan jauh dari realitas yang dibutuhkan masyarakat.
Butuh dukungan semua pihak

Ada tiga metode sensus yang dapat dilakukan untuk mendapatkan data kependudukan, yaitu; pencacahan seluruh penduduk (traditional method), menggunakan data registrasi (register based census) dan mengkombinasikan hasil pencacahan dengan data registrasi (Combined Method).

Traditional method banyak dilakukan di negara-negara yang belum memiliki sistem registrasi kependudukan yang baik. Indonesia telah enam kali melaksanakan sensus penduduk menggunakan metode ini.

Perkembangan terakhir hasil uji coba, Indonesia belum siap untuk langsung beralih dari traditional method ke register based census. Diperlukan peralihan metode dengan kombinasi dari beberapa sumber data sebelum benar-benar hanya memanfaatkan data registrasi. Untuk itulah, combined method untuk SP2020 dirancang dengan mengkombinasikan data registrasi, kompilasi bigdata, dan pencacahan penduduk. Data registrasi diperbaiki secara langsung oleh masyarakat melalui media daring (sensus online).

Sukses tidaknya SP2020 akan bergantung pada kolaborasi aktif dari berbagai pihak, termasuk institusi pemerintah dan nonpemerintah, perusahaan telekomunikasi dan e-commerce, serta peran aktif masyarakat secara umum dalam sensus online. Selain itu diperlukan dukungan nyata dari pemerintah daerah hingga ke struktur terkecil (desa/kelurahan/RT/RW) untuk meningkatkan response rate dari tahapan sensus online ini.

Kerjasama dan komunikasi yang intensif antara BPS dan Kemendagri, diharapkan mampu memutus rantai masalah yang muncul selama ini, yakni perbedaan dalam penghitungan jumlah penduduk. Data registrasi masih dikelola oleh institusi yg berbeda-beda dan belum saling terhubung. Satu data kependudukan bisa terwujud jika berbagai data registrasi yg dikelola oleh berbagai kementerian/lembaga sudah baik, saling terhubung dan bisa digunakan bersama-sama, sehingga untuk menghitung jumlah penduduk, cukup dengan mengolah data registrasi yg ada. Untuk mendapatkan variabel kependudukan yang lain seperti pendidikan, perkawinan, kesehatan, atau ketenagakerjaan, cukup dengan mengolah data registrasi yg telah saling terhubung.

Jika itu terjadi, Indonesia tidak lagi memerlukan sensus penduduk secara komplet, cukup dengan registrasi. Konsep satu data kependudukan ideal seperti itu akan menguntungkan semua pihak. Efisien dari sisi tenaga, waktu, biaya, dan lain sebagainya.

Pasca SP2020, setiap institusi pengelola data registrasi harus mau bergandengan tangan dan saling membuka datanya. Koneksi antardata perlu dibangun dan metode update data perlu disempurnakan. Untuk itu, berbagai regulasi yg ada juga perlu dikaji ulang. Masih jauh? Justru itu, kalau tidak dimulai dari sensus sekarang, mau kapan lagi?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *