Perkawinan anak di Indonesia sangat mengkhawatirkan karena angkanya menduduki peringkat ketujuh tertinggi di dunia dan kedua di ASEAN. Jika kondisi ini dibiarkan akan menjadikan Indonesia berada dalam kondisi darurat perkawinan anak. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2017, tingkat pernikahan pada anak perempuan di Indonesia mencapai 25,2 persen. Artinya satu dari empat anak perempuan menikah pada usia anak, yaitu sebelum dia mencapai usia 18 tahun. Selanjutnya pada 2018 ,BPS mencatat angka perkawinan anak sebesar 11,2 persen, yang artinya satu dari setiap sembilan perem¬puan usia 20-24 tahun telah menikah sebelum usia 18 tahun.
Namun, di beberapa daerah di Indonesia, perkawinan anak merupakan hal yang wajar karena alasan agama, budaya, dan hak manusia. Setiap tahun sekitar 340.000 anak perempuan menikah di bawah umur 18 tahun. Dan dari total provinsi yang ada di Indonesia, 20 provinsi mencatatkan ang¬ka perkawinan anak di atas angka nasional dengan jumlah tertinggi, Sulawesi Barat dan terendah DKI Jakarta. Di Bangka Belitung, hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS menunjukkan proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang menikah di bawah 18 tahun terus meningkat dari 25,45 persen (2015), 28,79 persen (2016) menjadi 32,15 persen (2017). Babel nomor tiga tertinggi angka perkawinan anak di Indonesia (Bangka Pos, 17/10/2018).
Dampak Perkawinan Anak
Perkawinan anak, membuat anak-anak rentan tidak mendapatkan hak pendidikan, kesehatan, gizi dan perlindungan dari kekerasan eksploitasi. Kebahagiaan mereka pada masa anak-anak juga tercabut. Adanya dampak negatif, seperti putus sekolah, kelahiran bayi yang kurang normal atau prematur, berat lahir rendah, dan kekurangan gizi. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena anak telah kehilangan hak-hak mereka yang seharusnya dilindungi oleh negara.
Faktor ekonomi menjadi salah satu alasan perkawinan anak terjadi di Indonesia. Banyak masyarakat masih berpandangan bahwa beban finansial keluarga akan berkurang jika menikahkan anak lebih cepat. Padahal adanya pernikahan itu malah bisa membuat beban orangtua semakin berat.
Banyak anak yang putus sekolah setelah menikah, sehingga kesulitan mencari mata pencarian. Ketiadaan pekerjaan itu kemudian mengharuskan orangtua ikut membantu menafkahi anak mereka. Belum lagi beban psikologis. Anak yang harusnya masih bermain dan belajar malah sudah harus mengurus anak, menyiapkan makanan, dan bekerja. Dalam kasus ini, anak bisa depresi dan mengalami gangguan kesehatan.
Selain faktor ekonomi, faktor budaya, agama, serta hukum juga memiliki peran bagi keberlangsungan pernikahan anak. Ada paradigma di masyarakat kita soal ketakutan menjadi perawan tua, sehingga usia anak baru 17 tahun, sudah dinikahkan. Alasan seperti itu yang mulai sekarang harus dihilangkan.
Kurangnya waktu orangtua untuk berkumpul bersama anak, juga jadi penyebab terjadinya pernikahan dini. Kebanyakan kasus perkawinan anak diawali karena anak perempuan hamil di luar nikah, karena orangtua harus bekerja, dan kurang waktunya untuk mengawasi anak mereka.
Perubahan Regulasi
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Surat Presiden untuk menugaskan empat menteri (Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia) membahas perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bersama DPR. Regulasi dan pengaturan usia perkawinan yang tercantum dalam Pasal 7 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga dinilai tidak memadai dan diskriminatif terhadap anak perempuan. Pasal 7 ayat 1 tersebut menyebutkan batas minimal usia pernikahan bagi laki-laki adalah 19 tahun. Sedangkan batas minimal usia pernikahan bagi perempuan adalah 16 tahun. Batas usia perkawinan tersebut masih tergolong usia anak.
Oleh karena itu, berbagai pihak telah mendukung pemerintah untuk melakukan revisi UU mengenai batas umur perkawinan sebagai upaya mengurangi angka perkawinan anak di Indonesia. Upaya tersebut juga merupakan, sebuah perlindungan atas adanya hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, dan hakhak anak lain.
Data BPS menunjukkan sekitar 11 persen dari jumlah perkawinan setiap tahun adalah perkawinan yang salah satu pihaknya berusia di bawah 16 tahun karena adanya mekanisme dispensasi bagi perkawinan di bawah batas usia yang telah ditentukan. Karena itu, Kementerian PPPA mengusulkan agar batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dipersamakan de¬ngan batas minimal usia pernikahan bagi laki-laki, yaitu 19 tahun.
Perkawinan anak tidak dapat berkurang secara signifikan, jika tidak ada kesadaran dan pemahaman masyarakat mengenai bahaya atau dampak dari perkawinan anak. Itu sebabnya perlu kerja sama pemerintah dengan dinas terkait guna memberikan sosialisasi dampak negatif dari perkawinan anak, terutama di daerahdaerah yang rawan perkawinan anak. Pemerintah juga sebaiknya memberikan beberapa program untuk membantu dan memastikan bahwa anakanak perempuan dapat mengejar pendidikan tinggi dan mendapat keterampilan kejuruan.
Upaya mencegah perkawinan pada usia anak dinilai tidak hanya cukup dengan merevisi aturan tentang usia minimal menikah bagi perempuan dalam Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun, pencegahan perlu dilakukan secara sistematis, dari level pusat hingga pemerintah daerah (pemda).
Setiap daerah sejatinya wajib memiliki kebijakan pembatasan usia anak untuk menikah baik di tingkat provinsi, kabupaten, dan desa.

Statistisi Ahli Muda
BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung