Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung baru saja merelease angka kemiskinan per Maret 2019. Menariknya data yang direlease menunjukkan bahwa adanya penurunan jumlah penduduk miskin di daerah perdesaan mencapai 2,64 ribu orang. Angka ini turun jika dihitung berdasarkan penduduk miskin perdesaan di September 2018 yang mencapai 47,71 ribu orang. Apa iya orang di desa makin kaya atau makin tajir ?
Anomali justru terjadi dimana penduduk miskin di perkotaan Babel justru naik sebanyak 1,09 ribu orang. Angka ini naik dari perhitungan di September 2018 yang ‘hanya’ 22,22 ribu orang saja. Padahal metode yang dipakai untuk pendataan garis kemiskinan ini mencakup berbagai aspek, mulai dari komoditi makanan hingga komoditi bukan makanan. Logikanya penduduk yang berdomisili di perkotaan memiliki akses yang lebih baik untuk memenuhi hajatnya. Tetapi mengapa justru penduduk di pedasaan yang justru naik di atas garis kemiskinan.
Pentingnya peranan komoditi makanan
Dari dua komponen penentu garis kemiskinan yakni komoditi makanan dan bukan makanan, ternyata ada gap yang cukup besar terhadap sumbangan masing-masing komoditi terhadap garis kemiskinan di Babel. Peranan komoditi makanan masih lebih superior terhadap garis kemiskinan dibandingkan dengan pemenuhan kebutuhan seperti perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Sumbangan garis kemiskinan komoditi makanan terhadap total garis kemiskinan pada Maret 2019 tercatat sebesar 72,70 persen. Tidak jauh berbeda dengan penghitungan terakhir BPS pada September 2018 lalu yang menyentuh level 72.59 persen. Pentingnya pemenuhan kebutuhan pangan di Babel seolah menandakan beberapa hal yang harus dibenahi dalam menaikkan taraf hidup di Bumi Serumpun Sebalai ini diataranya :
Pertama dilihat dari turunnya penduduk kategori miskin di daerah perdesaan Babel memungkinkan bahwa pemenuhan akan kebutuhan komoditi pangan di perdesaan lebih terjangkau. Terjangkau bukan berarti selalu soal harganya melainkan akses untuk mendapatkannya. Lihat saja bagaimana di kota Pangkalpinang hampir tidak ditemukannya daerah persawahan dan peternakan yang cukup luas. Hal ini merupakan alasan logis yang membuat penduduk miskin semakin naik bertambah di daerah perkotaan. Jika dianalisa lebih dalam lagi memang ternyata komoditi makanan yang berpengaruh besar terhadap nilai Garis Kemiskinan baik di de perkotaan maupun di perdesaan adalah beras, rokok kretek filter, daging ayam ras, kue basah, telur ayam ras dan mie instan.
Kemungkinan kedua yang paling mungkin menyebabkan menurunnya kemiskinan di perdesaan tetapi justru naik di perkotaan adalah adanya urbanisasi di awal tahun ini dari perdesaan ke perkotaan. Dengan alasan mencari peluang pekerjaan yang lebih besar di daerah perkotaan justru membuat penduduk yang miskin atau tepat di atas garis kemiskinan tiba-tiba jatuh menjadi miskin secara relatif saat didata oleh petugas pada Maret 2019 kemarin. Alasan migrasi ini bukan berarti tanpa sebab. Dalam penghitungan Indeks Tendensi Konsumen (ITK) yang dilakukan oleh BPS di Triwulan II kemarin (Periode April-Juni), konsumen cenderung pesimis dengan kondisi ekonomi yang akan datang. Kecemasan inilah yang diduga menjadi pendorong masyarakat perdesaan untuk bermigrasi ke perkotaan. Alih-alih mendapatkan peluang pekerjaan, keberadaan mereka bisa jadi membuat persepsi penduduk perkotaan menjadi minor. Apalagi jika dilihat dari rincian komoditi bukan makanan yang besar pengaruhnya adalah biaya perumahan, bensin, listrik dan pendidikan. Untuk mendapatkan hal itu semua membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan jika harus dipenuhi di daerah perdesaan.
Spekulasi ketiga terkait peningkatan kemiskinan di perkotaan bisa jadi dikarenakan degradasi waktu kerja akibat kehadiran gadget dan internet. Maraknya game online yang membuat semua pemain terhubung satu sama lain seolah menjadi daya tarik para user untuk berlama-lama bermain. Dengan adanya game online berbasis android juga semakin memudahkan user untuk bermain dimana saja yang mereka mau. Berbeda halnya dengan etos kerja di perdesaan yang lekat dengan alam dan jauh dari teknologi sehingga membuat mereka tetap konsisten bekerja. Bisa jadi ini merupakan sisi positif dari jauhnya teknologi dari masyarakat perdesaan. Fokus yang hilang membuat produktifitas kerja semakin menurun. Nongkrong di warung kopi sambil main bareng (read : mabar) memang nikmat dan membuat siapa saja akan terlena oleh waktu. Biaya yang dialokasikan awalnya untuk membeli kebutuhan pokok bisa jadi berkurang karena tuntutan untuk membeli paket internet dan gadget baru yang dibutuhkan.
Mari kita bersama-sama dan bersatu untuk terhindar dari jurang kemiskinan dengan cara-cara yang sederhana. Mulai dari pemenuhan gizi primer harus terpenuhi dahulu sebelum membeli kebutuhan non-primer seperti rokok, paket data dan gadget. Hal ini sepele tapi memang benar adanya dan sulit untuk dipraktekkan. Secara penghitungan statistik saja, beberapa kebutuhan non-primer yang baru saja disebutkan tidak dapat mengangangkat kita dari jurang kemiskinan. Fokus untuk memulai manajemen keuangan dari diri sendiri merupakan langkah preventif untuk terhindar dari kemiskinan. Dengan semangat kemerdekaan yang masih berderu di momen Agustus ini, mari kita wujudkan sumber daya yang unggul lepas dari kemiskinan.
s.bps.go.id/coretanadis