Stunting dan Obesitas

Saat ini Indonesia sedang menghadapi dua permasalahan gizi, Beban ganda malnutrisi. Kekurangan gizi pada suatu kelompok masyarakat, dan kelebihan gizi pada kelompok lain, merupakan permasalahan serius. Banyak orang merasa cukup hanya dengan makan kenyang tanpa mempedulikan faktor kecukupan gizi bagi kebutuhan fisiologis tubuh. Hal ini diantaranya disebabkan oleh pengetahuan dan kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan untuk berbuat banyak. Ada pula kelompok masyarakat, yang karena alasan prestise dan kondisi sosialnya, makan secara berlebihan di rumah makan, padahal di rumah sudah tersedia hidangan serba lengkap dan berkualitas.

Kenyataan menunjukkan persentase penduduk dewasa yang mengalami obesitas (kegemukan) naik dari 14,8 persen (Riskesdas 2013) menjadi 21,8 persen (Riskesdas 2018). Pola makan masyarakat Indonesia yang lebih banyak mengonsumsi makanan tinggi gula dan garam yang memang enak di lidah sehingga memicu meningkatnya penderita berbagai penyakit seperti kanker, stroke, ginjal kronis, diabetes melitus, dan hipertensi sementara konsumsi buah (86,14 persen) dan sayur (97,10 persen) penduduk masih kurang (Susenas Maret 2018).
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)

Perhatian global pada kerawanan pangan lebih berfokus pada persoalan gizi sebagaimana dituangkan dalam tujuan kedua Sustainable Development Goals (SDGs) atau tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu menghilangkan kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan gizi yang baik, serta meningkatkan pertanian berkelanjutan. Sejalan dengan komitmen global tersebut, salah satu program prioritas pembangunan pemerintah Indonesia adalah peningkatan derajat kesehatan dan gizi masyarakat. Hingga saat iní intervensi stunting belum efektif dan persentase prevalensi stunting (kerdil) di Indonesia masih cukup tinggi yakni 30,8 balita (Riskesdas 2018).

Untuk mengukur status gizi di Indonesia salah satu indikator penting yang tertuang dalam SDGs adalah Prevalence of Undernourishment (PoU) atau prevalensi kekurangan gizi. PoU memberikan gambaran mengenai prevalensi penduduk yang mengonsumsi kalori di bawah kebutuhan kalori minimum untuk hidup sehat dan aktif. Badan Ketahanan Pangan (BKP) bekerjasama dengan FAO dan Badan Pusat Statistik (BPS) telah melaksanakan penghitungan Indikator PoU sebanyak dua kali pada September 2016 dan Agustus 2017. Hasil penghitungan PoU tahun 2017 menggunakan metode penghitungan kalori dengan konversi kalori menggunakan harga per unit kalori sebanyak 7,80 persen penduduk Indonesia mengonsumsi kalori kurang dari yang dibutuhkan untuk hidup sehat dan tetap aktif. Hampir sama dengan Angka Rawan Pangan tahun 2017 sebesar 7,90 persen.

PoU berbeda dengan Angka Rawan Pangan. Angka Rawan Pangan mempunyai batasan minimum konsumsi kalori tertentu (70% dari Angka Kecukupan Gizi). Kebutuhan minimum kalori dalam penghitungan PoU akan berbeda untuk setiap orang, tergantung pada umur, jenis kelamin, dan aktifitas fisiknya.

Upaya Mengatasi Stunting (Kerdil)

Salah satu upaya dalam mengatasi permasalahan stunting dan kekurangan gizi ialah menggalakkan diversifikasi pangan, dengan mendorong peningkatan asupan protein hewani. Pola konsumsi pangan masyarakat selama ini belum ideal, masih terpusat pada pemenuhan karbohidrat dengan konsumsi protein hewani sangat rendah yakni 28,67 gram per kapita per hari (Susenas 2017). Oleh karena itu, diet seimbang melalui konsumsi makanan beragam dapat menjadi indikator tercapainya status gizi optimal.
Status gizi, salah satu komponen utama dalam mendukung terciptanya SDM berkualitas dan ahli menuju keberhasilan pembangunan kesehatan. Upaya pencapaian kesehatan dapat juga dengan merubah mindset dari paradigma sakit menuju paradigma sehat sesuai Visi Indonesia Sehat 2025. Kesehatan terwujud salah satunya dari konsumsi ikan.

lkan banyak mengandung protein dan mineral. Namun ikan tidak digemari anak-anak, karena berbau anyir (amis), cara pengolahannya membosankan dan tidak variatif. Melonjaknya harga daging dan harga ikan di pasaran, secara tidak langsung sebagai pemicu terjadinya kekurangan protein. Kondisi kekurangan protein membahayakan pertumbuhan dan perkembangan anak dan dapat beresiko fatal, ditandai penurunan status gizi, pertumbuhan dan perkembangan terhambat, serta menjadi generasi bodoh karena kurang protein hewani; mengingat fungsi gizi ikan untuk pembentukan sel otak.

Upaya kampanye pola makan sehat dengan mendorong masyarakat untuk meningkatkan konsumsi pangan hewani yang selama ini telah dilakukan tidak akan banyak berdampak terhadap pola pangan masyarakat, selama pemerintah belum mampu menjaga kestabilan harga pangan terutama harga komoditas ikan-ikanan. Menjaga pasokan ikan-ikanan di pasaran sangat penting untuk dilakukan untuk menjaga kestabilan harga ikan-ikanan.

Pemerintah telah melakukan intervensi untuk menurunkan prevalensi stunting melalui; intervensi gizi spesifik yang merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30 persen penurunan prevalensi stunting, dan intervensi gizi sensitif yang merupakan intervensi yang dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan di luar sektor kesehatan serta berkontribusi pada 70% penurunan prevalensi stunting. Dibutuhkan peran semua pihak untuk menyukseskan program ini.

Pada masalah konsumsi, penyelesaiannya tidaklah semudah pembuatan program. Faktor yang berpengaruh, antara lain tingkat ekonomi, kebiasaan, kepercayaan, dan pengetahuan masyarakat. Oleh karena itu, penyebaran informasi tentang gizi harus terus dilakukan tanpa terkesan terlalu menggurui. Sementara itu ada pendapat bahwa dengan menaikkan tingkat ekonomi, masalah gizi teratasi. Pendapat tersebut sebenarnya tidak mutlak betul, selama masih ditemukan kesenjangan informasi, ekonomi, dan bahkan gengsi. Ada hasił penelitian yang menunjukkan, bahwa anak prasekolah dari kelompok ekonomi kuat kekurangan gizi. Tidak sedikit rumah tangga yang membelanjakan kenaikan riil pendapatannya untuk keperluan nonpangan, terutama barang mewah, sementara kebutuhan pangan sendiri bahkan kurang diperhatikan.

Usaha untuk mencapai kondisi masyarakat cukup gizi, masih harus terus dilakukan dan ternyata, keadaan kurang gizi bukan monapoli masyarakat ekonomi lemah. Secara simultan, kondisi kurang gizi dalam masyarakat disebabkan oleh kesenjangan informasi, ekonomi, dan gengsi. Rupanya masih banyak PR (pekerjaan rumah) bagi pihak-pihak yang berkompeten untuk meningkatkan gizi masyarakat demi kualitas manusia Indonesia yang lebih baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *