Ramadhan Seyogyanya Jadi Momen Investasi

Ramadhan telah datang. Seluruh umat manusia seantero dunia mulai mengikat pinggang untuk menahan lapar, dahaga dan hawa nafsunya. Deretan sandal tampak ramai tersusun rapi di pekarangan masjid tanda banyaknya makmum yang datang berbondong-bondong. Gema shalat berjamaah saling bersaut-sautan dalam gelapnya malam tanda shalat tarawih mulai ditunaikan. Atmosfer ini membuat siapa saja yang merasakannya akan berdecak kagum, apalagi di Indonesia yang merupakan negara dengan jumlah umat muslim terbanyak di dunia.

Para mubaligh banyak menyuarakan bahwa bulan Ramadhan ini sejatinya terbagi ke dalam tiga fase penting. Fase pertama adalah fase rahmat. 10 hari pertama di bulan Ramadhan merupakan bulannya kedemawanan untuk peduli terhadap sesama. Terkhusus di fase pertama ini, ibadah puasa akan terasa sangat berat karena perut terkejut karena dipaksa untuk puasa. Padahal di setiap bulannya terus bekerja menggiling semua makanan yang masuk ke badan. Fase kedua merupakan fase Maghfirah atau ampunan. Pada 10 hari kedua kita diminta untuk banyak-banyaknya meminta ampunan dan menyesali perbuatan dan perkataan yang tercela sebelum Bulan Ramadhan datang. Sedangkan fase terakhir merupakan fase pembabasan dari api neraka. Tidak mudah tentunya di fase 10 hari terakhir ini. Sandal-sandal yang di awal Ramadhan banyak ditemukan di tempat ibadah baik saat tarawih ataupun waktu-waktu shalat fardlu, kini seolah hilang. Justru pada momen itu, suara bunyi sandal-sandal tadi dapat terdengar hilir mudik di pusat perbelanjaan. Fenomena ini menarik dimana perhatian umat sudah mulai berubah. Shaf shalat makin maju tetapi shaf parkiran di pusat perbelanjaan makin kebelakang.

Imam Ghazali mengemukakan pendapatnya mengenai hakikat puasa. Menurutnya sudah cukup bagi kita dengan menahan nafsu dan syahwat agar syarat sah puasa dapat terpenuhi. Namun ulama memaknai sahnya puasa lebih dari itu. Puasa yang sah adalah puasa yang diterima disertai dengan maksud dan tujuannya tercapai. Diantara tujuan berpuasa adalah mengontrol diri dari sikap berbohong, menggunjing, mengadu domba, sumpah palsu, dan melihat dengan syahwat. Perkara-perkara tersebut tidak mudah untuk kita hadapi bersama di bulan yang mulia ini, apalagi pasca pemilihan presiden di Bulan April kemarin. Buktinya saja banyak kasus hingga klaim kemenangan sebelum penghitungan real count KPU hingga aksi makar memicu amarah dari beberapa kalangan masyarakat.

Ramadhan seyogyanya menjadi momen investasi bagi umat muslim karena pada bulan ini segala hawa nafsu dicoba untuk direm. Dengan diremnya hawa nafsu ini seharusnya pengeluaran rumah tangga pun juga semakin direm. Jika kita analogikan ke dalam analogi sederhana saja, pada bulan puasa kita hanya makan berat selama dua kali saja yakni saat berbuka puasa dan sahur. Berbeda dengan pada bulan-bulan lainnya dimana makan berat umumnya dijadwalkan sampai tiga kali sehari. Jika asumsi setiap porsi makanan bernilai Rp. 15.000,- dan dalam satu rumah tangga terdapat empat anggota rumah tangga maka sehari pengeluarannya akan dapat dihemat sampai Rp. 60.000,-. Maka untuk satu bulan dapat berhemat hingga Rp. 1.800.000 , setahun dapat berhemat sampai Rp. 21.600.000. Dengan nominal tersebut setidaknya dalam setahun dapat untuk dialokasikan ke kebutuhan pendidikan, pembelian kendaraan atau untuk berkurban seekor sapi pada Hari Raya Idul Adha.

Fakta yang kontradiktif

Berdasarkan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menunjukkan hal yang kontradiktif. Fenomena-fenomena yang terjadi pra dan pasca Ramadhan justru menunjukkan adanya pengeluaran yang masif dari sektor rumah tangga. Berbanding terbalik dengan hakikat Ramadhan dimana dituntut kepada yang menjalankannya untuk berhemat.

Mulai tahun 2016 hingga 2018, Bulan Ramadhan jatuh di triwulan II kalender Masehi yakni di rentang April-Juni. Di periode inilah justru pengeluaran konsumsi rumah tangga penduduk Babel memiliki laju optimal dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Pengeluaran meningkat paling drastis dibandingkan triwulan-triwulan lainnya. Pada tahun triwulan II 2016 laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga mencapai level 2,01 persen dibandingkan triwulan I. Pada triwulan II 2017 mencapai laju pertumbuhan 1,92 persen dibandingakn triwulan sebelumnya. Pola yang sama masih terjadi pada 2018 dimana pada triwulan II laju pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga mencapai level pertumbuhan di 1,91 persen.

Ternyata fenomena “borosnya” pengeluaran rumah tangga tidak terjadi di Babel saja melainkan sudah menjadi fenomena nasional walaupun dengan variasi yang beragam. Hal ini jelas tergambarkan dari perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Secara nasional pengeluaran konsumsi rumah tangga meningkat lajunya di triwulan II tetapi mencapai puncaknya di triwulan III yakni pasca Bulan Ramadhan. Jika dibandingkan secara triwulanan (q-to-q) , pada tahun 2017 dan 2018 di triwulan II mencapai laju pertumbuhan 1,37 persen dan 1,59 persen. Efek Ramadhan secara nasional berlangsung cukup panjang hingga triwulan III yakni mencapai pertumbuhan laju konsumsi ke angka 3,40 persen di 2017 dan 3,24 persen di 2018.

Pengeluaran konsumsi rumah tangga terbagi lagi ke dalam beberapa sub komponen pengeluaran. Yang menarik dari komposisi pengeluaran ini, hampir seluruh sub komponen pengeluaran mengalami peningkatan. Sub komponen pengeluaran yang mengalami penigkatan laju pertumbuhan paling tinggi pada tahun lalu adalah sub komponen restoran dan hotel. Sub komponen ini naik pertumbuhannya hingga ke level positif 4,75 persen di triwulan III berbanding terbalik dengan yang terjadi di triwulan I dimana terjadi degradasi pertumbuhan ke level minus 1,24 pesrsen . Hal ini terjadi karena didorong oleh jumlahnya pemudik yang membutuhkan akomodasi dan wisata kuliner saat berlebaran dan kegiatan lainnya sepanjang Ramadhan. Fenomena mudik lebaran juga memberikan dampak yang signifikan pada laju pertumbuhan ekonomi sub komponen transportasi dan komunikasi. Sebagai contoh di tahun 2018, sub komponen ini yang tadinya anjlok di triwulan I dengan laju negatif 0,15 persen, tiba-tiba di triwulan kedua mulai merangkak naik dengan laju positif 1,56 persen dan semakin meroket di triwulan berikutnya ke level 4,24 persen. Rentetan naiknya tingkat konsumsi rumah tangga ini sangat erat sekali dengan aktivitas-aktivitas sepanjang bulan Ramadhan.

Bulan ini seharusnya menjadi momen untuk mengerem hawa nafsu. Semoga tingginya laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga di atas dibarengi dengan tingkat transfer yang tinggi dari rumah tangga yang satu dengan rumah tangga yang lain, dengan sebutan lain sakni sedekah. Apabila tingkat sedekah tinggi, semoga pemerataan pendapatan dari seluruh umat dapat tewujud. Tentu dari sisi makroekonomi naiknya pertumbuhan konsumsi ini membawa angin segar bahwa perekonomian masih berjalan dengan kondusif dan perputaran roda ekonomi berjalan dengan baik. Semoga dengan momen Ramadhan dimana disyariatkan kepada kaum muslim untuk berpuasa dan menahan nafsu membuat roda perekonomian bergerak ke arah yang positif. Bukankan telah dijanjikan satu tempat khusus di surga, yang pintunya bertuliskan Al-Rayyan (kesegaran, kedamaian) dan hanya bisa dimasuki oleh mereka yang ahli berpuasa. Setelah semua ahli berpuasa telah masuk, pintu itu akan tertutup, dikunci, dan tidak membiarkan selain orang yang ahli berpuasa memasukinya. Semoga bagi mereka yang melaksanakannya digolongkan ke dalam golongan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *