Demokrasi dalam Kacamata Millenial

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memprediksi, jumlah pemilih muda di Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 70-80 juta jiwa. Artinya, sekitar 40 persen pemilih didominasi oleh generasi milenial karena jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) terakhir tercatat sebesar 185 juta jiwa. Data tersebut menyatakan bahwa generasi milenial sangat signifikan berperan dalam merebut suara di pesta demokrasi nanti.

Selain itu, BPS juga mencatat jumlah pemuda di Indonesia pada tahun 2018 diperkirakan sebesar 63,82 juta jiwa. Jumlah tersebut setara dengan seperempat jumlah penduduk di Indonesia. Besarnya proporsi pemuda menyebabkan mereka memegang posisi penting terhadap keberlangsungan kehidupan bernegara, salah satunya aspek dalam demokrasi politik. Banyaknya generasi milenial bisa didekati melalui banyaknya jumlah pemuda yang menurut UU No.40 tahun 2009 adalah penduduk berusia 16 sampai 30 tahun.

Untuk menentukan keberhasilan dan kemajuan pesta demokrasi, diperlukan ujung tombak yang mampu mengawal pelaksanaan hajatan besar 17 April mendatang. Posisi penentu dimiliki oleh generasi milenial. Mereka adalah serdadu muda yang memiliki peran strategis di perhelatan pesta rakyat ini.

Pentingnya peran milenial dalam politik demokrasi disambut baik oleh mereka sendiri, para generasi milenial. Milenial masa kini menyikapi demokrasi dengan cukup bijak. Mereka beranggapan bahwa demokrasi bukan lagi suatu hal yang monoton dan kaku. Demokrasi merupakan sesuatu yang dinamis. Mereka juga beranggapan terjun dalam demokrasi justru mampu mendukung aktualisasi diri mereka.

Generasi milenial adalah golongan dari sebagian pemuda yang memiliki fitrah untuk “didengar”. Tidak heran KPU pun mengambil hashtag #SuarakanSuaramu untuk menarik simpati pemuda milenial. Kebebasan inilah yang membuat generasi milenial memilih pro-aktif dalam hajatan demokrasi nanti.

Namun, sebagian generasi milenial masih memandang sesuatu yang berbau politik identik dengan kebohongan, intrik, dan permainan kotor. Alasan tersebut yang melatarbelakangi beberapa generasi milenial memilih bersikap apatis terhadap demokrasi yang sedang berlangsung. Bagi mereka, siapa saja yang akan memegang kekuasaan di negara ini bukanlah hal yang menarik perhatian.

Mereka menilai hajatan besar April mendatang tidak akan berdampak pada kehidupan pribadi mereka. Belum lagi, ricuhnya media sosial karena perdebatan politik membuat generasi milenial ini memilih untuk acuh ketimbang harus ikut “perang medsos”. Perdebatan tak berujung yang terjadi karena beda pilihan bukanlah sikap yang bijak. Masing-masing pendukung kubu tertentu bahkan menjatuhkan kubu lain dengan hoax dan kata-kata kasar. Keadaan seperti ini menjadi tidak kondusif dan mengotori nilai inti demokrasi.

Generasi milenial yang apatis sejatinya hanya menghindari pemecah belah sehingga mereka memilih mundur dari “pertikaian”. Sementara itu, niat baik generasi milenial yang peduli dengan negara ini kadang kala hanya kelewat batas sehingga menciptakan suasana yang memanas dari cuitan mereka. Akan tetapi, keinginan membawa Indonesia menjadi negara yang bersatu, adil, dan makmur masih berada di hati nurani mereka.
Dalam pertikaian di media sosial, Para oknum melihat kubu lain dengan sederet pemikiran negatif saja. Di sisi lain, mereka mengagung-agungkan kubu politik mereka dengan tak segan menyebar berita hoax yang diharapkan bisa mempengaruhi masa. Sikap seperti ini rentan dengan generasi milenial karena generasi milenial kerap kali mudah untuk dipengaruhi.

Oleh karena itu, besar harapan terhadap pemuda bangsa terutama generasi milenial untuk turut andil dalam pemilu nanti lewat cara yang baik. Pentingnya suara yang milenial pilih akan berdampak langsung terhadap kemajuan Indonesia dan daerahnya lima tahun ke depan. Besar harapan milenial bijak untuk bersikap menjaga iklim demokrasi yang menjunjung tinggi persatuan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *