Milenial dan Injury Time Demokrasi

Indonesia memulai pemilihan langsung sejak 2004 silam dimana para peserta dapat memilih langsung presiden dan wakil presidennya. Sejarah mencatat dalam pemilihan presiden pertama dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil mendapatkan suara lebih dari 50 persen. Hingga akhirnya Susilo Bambang Yudhoyono muncul sebagai pemenang setelah bersaing sengit dengan Megawati pada pemilihan presiden di putaran final. Pemilihan secara langsung terus berlanjut hingga dua kali gelaran berikutnya yakni di tahun 2009 dengan memenangkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, serta di tahun 2014 dengan memunculkan nama pasangan Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai pemenangnya.

Berkaca dari dua gelaran pemilihan presiden terakhir, fenomena golput menjadi momok yang menakutkan dalam sistem demokrasi negeri ini. Komisi Pemiliha Umum (KPU) yang bertindak sebagai juri pada setiap gelaran pemilihan selalu berupaya dan berinovasi untuk mengajak seluruh peserta pemilihan untuk turut aktif memberikan hak suaranya. Hal ini bertujuan untuk menekan angka golput yang cukup tinggi di dua gelaran pemilihan terakhir. Berdasarkan data KPU di gelaran pemilihan legislatif, terdapat sekitar 29,1 persen yang berstatus golput di tahun 2009 dan angkanya cenderung konstan di tahun 2014 dengan 24,9 persen. Sementara untuk pemilihan presiden angka golput cenderung meningkat. Dari kehadiran peserta golput sebanyak 28,3 persen di tahun 2009 naik menjadi 30 persen di tahun 2014.

Fenomena golput sangat disayangkan. Banyak opini yang mencuat seiring masih konsistennya angka golput di setiap gelaran pemilihan. Mulai dari sikap apatis dari pribadi masing-masing hingga isu belum ada gagasan visi misi yang sesuai dari setiap pasangan calon. Menariknya lagi , mereka yang diduga apatis adalah kaum muda yang telah memiliki hak untuk memilih atau yang sekarang disebut dengan generasi milenial.

Generasi milenial identik dengan sikap kebimbangan dan mudah terbawa arus perubahan. Dalam ilmu psikologi sendiri, generasi milenial merupakan momen dimana dalam usia tersebut mereka masih mencari jati diri, mulai terlepas dari naungan orang tua dan perlahan memasuki dunia kerja yang makin hari makin ketat persaingannya. Sikap emosional dan idealisme cenderung mendominasi di momen ini. Saat telah memantapkan hati untuk berkata sesuatu, sulit baginya untuk merubah pendirian tersebut. Begitu kiranya yang dialami generasi milenial pada gelaran pemilihan secara langsung beberapa tahun lalu. Dikarenakan rasa muaknya akan kinerja pemerintah, mereka merasa abai akan kepemilikan haknya di setiap pemilihan. Mereka tidak memakai hak pilihnya karena berargumen bahwa siapa saja pemimpinnya, Indonesia selamanya akan terus menjadi negara berkembang. Sepintas memang benar rasanya pendapat tersebut. Toh dari zaman pelajaran PKN kurikulum 1994 hingga kurikulum 2013, Indonesia masih saja dikategorikan sebagai negara yang berkembang.

Generasi milenial sejatinya akan menjadi kartu As penentu dalam pemilihan kali ini. Pasalnya kehadiran generasi milenial diduga memiliki hak suara sebesar 35-40 persen dari total 185 juta suara pemilih se-Indonesia. Angka yang dirilis oleh KPU ini seolah memberi sinyal bahwa siapa yang dapat memikat hati generasi milenial, dia lah yang akan muncul menjadi pemenang. Tak heran rasanya jika banyak partai dan tim pemenangan memakai generasi milenial dengan cap influencer (pengguna sosial media dengan banyak follower) untuk memikat generasi milenial lainnya. Benar saja jika media sosial dijadikan sebagai medan perang terampuh saat ini untuk memikat hati generasi milenial. Dengan gelaran pemilihan serentak yang memasuki masa injury time, milenial diharapkan membawa angin segar untuk mengangat tingkat partisipasi pada gelaran akbar ini.

Harapan hadirnya milenial di injury time demokrasi ini bukanlah asa belaka. Data Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) terakhir yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan adanya peningkatan poin. Bekerja sama dengan Kementrian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Badan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementrian Dalam Negeri , IDI 2017 mencapai level 72,11 dimana pada tahun sebelumnya baru bisa menembus level 70,09 persen. Jika dikategorikan dengan skala 0-100, maka capaian kinerja demokrasi Indonesia masih dikategorikan “sedang” (antara 60 sampai dengan 80). Dua dari tiga aspek penyusun IDI mengalami kenaikan di 2017. Aspek-aspek tersebut adalah aspek lembaga demokrasi yang naik 10,44 poin menjadi 72,49 dan aspek kebebasan sipil yang naik 2,30 poin menjadi 78,75. Hanya aspek hak-hak politik yang turun 3,48 poin menjadi 66,63. Tentu saja dengan naiknya IDI Indonesia ini menjadi angin segar dan motivasi bangsa demi terwujudnya zero golput pada pemilihan serentak nanti. Yang perlu ditekankan adalah rasa optimisme yang perlu dijaga oleh milenial bahwa seluruh pasangan calon yang berlaga di gelaran pemilihan nanti merupakan putra-putri terbaik bangsa ini. Tidak perlu ragu untuk menjatuhkan pilihan karena tidak selamanya kesalahan di masa lalu turut membutakan kita akan kebaikan yang telah diperbuat. Toh pada akhirnya mereka telah berikrar untuk mengemban amanahnya jika terpilih nanti.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *