Kemiskinan adalah persoalan klasik yang terus menjadi perbincangan di kalangan para pemangku kebijakan. Kemiskinan sesungguhnya merupakan suatu kondisi yang ditolak oleh manusia. Tak seorang pun ingin menjadi miskin, tetapi kenyataannya sulit untuk dihindari. Pemerintah selalu berusaha menciptakan program-program yang dianggap mampu menekan angka kemiskinan. Namun, evaluasi harus selalu dilakukan untuk mengetahui efektivitas dari setiap program. Berhasil atau gagal.
Tentu tidak semudah bertanya kepada Mbah Dukun untuk mengetahui angka kemiskinan. Kemiskinan adalah masalah multidimensional. Banyak sekali metode yang dapat digunakan dalam mengukur kemiskinan. Namun, pada masing-masing metode terdapat kelebihan dan kekurangan. Dengan mempertimbangan kelebihan dan kekurangan tersebut, Badan Pusat Statistik (BPS) telah menentukan metode yang paling baik dan paling mungkin untuk diaplikasikan dalam jangka waktu panjang di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam mengukur kemiskinan, BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar. Artinya, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan maupun non makanan, yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk dikatakan miskin jika memiliki rata-rata pengeluaran perkapita (per orang) perbulan di bawah garis kemiskinan. Metode ini tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi juga diberlakukan di banyak negara di dunia. Sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) yang rutin dilakukan BPS pada bulan Maret dan September. Pada survei tersebut telah disusun konsep dan definisi yang baku dan detail di setiap item pertanyaannya untuk menghindari persepsi yang berbeda antar petugas pendata.
Mengukur Dalamnya Kemiskinan
Membedah kemiskinan bukan hanya sekedar mengetahui jumlah dan persentase penduduk miskin. Lebih dari itu, seberapa dalam kemiskinan yang terjadi juga perlu dijadikan perhatian. Semakin dalam kemiskinan, semakin sulit untuk mengangkatnya. Dapat dibayangkan, menyelamatkan orang yang tenggelam jauh hampir di dasar laut lebih sulit daripada menyelamatkan orang yang tenggelam namun masih dekat dengan permukaan laut.
Parameter teknis lain yang perlu dipahami secara holistik yaitu Indeks Kedalaman Kemiskinan. Indeks ini selalu dirilis oleh BPS bersamaan dengan jumlah dan persentase penduduk miskin. Semakin besar nilai indeks, semakin dalam kemiskinan yang terjadi, semakin sulit pula untuk diatasi.
Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, jika melihat berdasarkan angka kemiskinan saja, pemerintah pantas untuk bangga karena angka kemiskian yang semenjak Maret 2016 atau selama 3 tahun terakhir selalu berada di atas angka 5 persen, pada September 2018 lalu angka kemiskinan Babel turun menjadi sebesar 4,77 persen. Namun, jika dilihat lebih lanjut, indeks kedalaman kemiskinan Babel selama 2 tahun terakhir ternyata terus mengalami peningkatan. Artinya, secara rata-rata, penduduk miskin di Babel semakin jauh berada di bawah garis kemiskinan. Hal ini tentu juga perlu menjadi perhatian pemerintah daerah karena selayaknya program pengentasan kemiskinan tidak hanya bertujuan menurunkan angka kemiskinan tetapi juga meminimalisir tingkat kedalaman.
Indeks Kedalaman Kemiskinan Babel pada Maret 2017 sebesar 0,494 kemudian naik menjadi 0,565 pada September 2017. Angka tersebut terus meningkat menjadi 0,685 pada Maret 2018 dan 0,725 pada September 2018. Jika angka ini terus dibiarkan naik, maka orang golongan terbawah ini akan semakin sulit untuk terangkat. Perlu upaya yang lebih dari pemerintah untuk menyelamatkan penduduk dari jurang kemiskinan.
Miskin Tak Sekedar Masalah Uang
Salah satu pakar kemiskinan, Jousairi Hasbullah, menyebutkan bahwa beberapa kajian ilmiah menunjukkan orang miskin tergolong sebagai 4L (the Lowest, the Last, the Lost, the Least). Orang miskin adalah golongan terbawah di kalangan masyarakat, baik dari segi pendapatan, pendidikan, perkerjaan, maupun sosial/psikologi (THE LOWEST). Jika ada lowongan pekerjaan, merekalah yang paling terakhir menerima kesempatan (THE LAST). Jika diberi modal, mereka tidak tahu cara mengelolanya. Mereka seperti orang yang kehilangan arah dalam menentukan masa depan. Apatis dan pasrah tanpa mampu menggerakkan potensi daya ubah diri yang dimiliki (THE LOST). Jika ekonomi tumbuh, merekalah yang paling sedikit menerima tetesan berkah pembangunan (THE LEAST). Jangan berharap lapangan kerja yang terbuka, pemberian modal usaha, fasilitas kredit, dan sejenisnya akan secara otomatis mampu menyentuh kelompok 4L ini.
Sebuah harapan besar ketika generasi penerus mereka mampu bangkit dari kemiskinan. Namun, bagaikan lingkaran setan, orang miskin tak mampu menyekolahkan tinggi-tinggi anak mereka, tak mampu memberi gizi yang cukup bagi anak mereka. Anak mereka akan kembali jatuh pada jurang kemiskinan dan terjadilah rantai kemiskinan. Program yang telah diupayakan pemerintah dalam hal ini adalah Program Keluarga Harapan (PKH). Program ini bukanlah program instan melainkan sebuah program jangka panjang.
Namun, ada sedikit hal yang perlu kita renungkan bersama. Pernahkah terpikir bahwa pola pikir kelompok terbawah tersebut tidak selalu sama dengan pola pikir kita? Ketika penduduk menengah ke atas memikirkan bagaimana masa depan anak-anak mereka, penduduk miskin mungkin hanya sempat memikirkan bagaimana mereka makan hari ini. Tak banyak orangtua yang berharap pendidikan mampu memutus rantai kemiskinan. Dalam hal ini, faktor psikologis turut menentukan.
Anak-anak dari penduduk miskin harus memiliki daya juang belajar yang tinggi agar mampu terangkat dari kemiskinan. Anak-anak yang memiliki daya juang tinggi akan mampu bersaing dengan biaya yang minim. Ketika mereka memiliki keterbatasan dalam kepemilikan buku pelajaran, mereka akan berjuang dengan datang ke perpustakaan, meminjam, mencatat, ataupun menghafal. Orangtualah yang paling berperan dalam hal ini. Orangtua harus mampu menorehkan warna agar anak termotivasi memiliki semangat dan daya juang belajar yang tinggi sehingga mampu bersaing di rimba dunia luar. Sayangnya, banyak orangtua yang gagal membentuk kecerdasan berjuang pada anak.
Ketika anak-anak tidak memiliki daya juang belajar yang tinggi, mereka akan lebih mudah menyerah dalam pendidikan dan memilih bekerja serabutan. Mereka seakan tidak memiliki harapan terhadap masa depan mereka. Sehingga edukasi psikologis bagi penduduk miskin, baik orangtua maupun anak-anak, dirasa perlu untuk dilakukan. Dengan segala keterbatasannya, penduduk miskin yang memiliki daya juang tinggi akan lebih mudah terangkat dari kemiskinan. Yang mereka butuhkan adalah sebuah harapan. Dan harapan itu ada di hati mereka masing-masing. Sebuah rasa kepercayaan untuk dapat hidup lebih baik.