Berdasarkan pers rilis data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terjadi penurunan angka kemiskinan dari 5,25 persen pada Maret 2018 menjadi sebesar 4,77 persen pada September 2018 dengan jumlah 69.930 orang daripada Maret 2018 sebanyak 76.260 orang. BPS mencatat bahwa penduduk miskin mayoritas di perdesaan yakni 47.710 orang dan perkotaan 22.220 orang. Data ini menjadi standar untuk melihat tingkat kesejahteraan masyarakat dan kemajuan pembangunan daerah.
Penurunan angka kemiskinan ini patut kita syukuri namun yang mesti kita ingat bahwa tren penurunan kemiskinan sejak 2011 melambat dibandingkan sebelumnya. Pada awal 2002 angka kemiskinan mencapai 11,62 persen dan hingga 2011 berhasil dientaskan hingga setengahnya. Pergerakan angka kemiskinan setelah 2011 tidak jauh dari angka 4-5 persen. Kemiskinan saat ini sudah mencapai level “kerak-kerak kemiskinan”. Ibarat menanak nasi, sudah keraknya. Susah dibersihkan. Namun, bukan berarti kemiskinan tidak bisa dikurangi. Caranya adalah menyusun program pembangunan yang berpihak kepada kelompok miskin. Untuk mengikis kerak-kerak kemiskinan itu, kita perlu menelusuri siapa sebenarnya si miskin, bagaimana karakteristiknya, pendidikan, pekerjaan dan memetakan dimana persebarannya.
Penduduk miskin terbanyak merupakan petani atau bahkan buruh tani. Lebih dari 47 persen penduduk miskin di Babel berprofesi sebagai petani. Sudah seharusnya pertanian menjadi perhatian utama dalam pembangunan guna mengikis kerak kemiskinan. Tetapi belum ada satupun program pembangunan yang mampu memberi jaminan kepada mereka yang memilih petani sebagai profesi yang mensejahterakan. Dana desa yang diformulasikan untuk mendukung percepatan pengentasan kemiskinan yang ada di perdesaan belum mampu menyentuh kesejahteraan petani.
Di tengah gelontoran dana desa, ternyata tingkat kesejahteraan petani belum terdongkrak. Cerminan tingkat kesejahteraan petani terlihat dari Nilai Tukar Petani (NTP) sepanjang 2018 berada di bawah 100. Artinya, pendapatan petani tidak cukup untuk menutupi kebutuhan biaya produksi dan konsumsi petani. Bahkan Januari 2019, NTP berada di angka 83,55 yang diwarnai dengan gejolak kenaikan harga kebutuhan pokok serta turunnya harga komoditas pertanian (karet, lada, sawit) ikut memperburuk usaha pertanian.
Selain minimnya pendapatan, ditambah besarnya beban tanggungan dalam keluarga menyebabkan mereka sulit keluar dari “lingkaran setan” kemiskinan. Penyebab lain adalah mereka sulit memperoleh pekerjaan yang layak dikarenakan pendidikan mereka yang hanya tamat SD bahkan tidak tamat SD atau tidak pernah bersekolah. Hampir 40 persen dari mereka berprofesi sebagai buruh atau tenaga kerja kasar di perkebunan. Kepemilikan jaminan kesehatan pun masih terbatas di kalangan orang miskin. Tercatat satu dari tiga orang miskin tidak memiliki jaminan kesehatan.
Dari fakta ini kita dapat mencari akar persoalan mengapa orang miskin tidak kunjung mampu keluar dari kerentanan kemiskinannya. Padahal berbagai program pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan telah banyak dilakukan. Akumulasi dana yang dikeluarkan pun telah mencapai triliunan rupiah. Namun tetap saja belum mampu menuntaskan persoalan yang krusial ini. Bahkan, bila membaca data pertumbuhan ekonomi yang selalu menunjukkan tren positif pun tidak mampu menghilangkan kemiskinan di Babel. Lalu, apakah kemudian bisa kita katakan bahwa pertumbuhan ekonomi selama ini masih kurang menyentuh masyarakat miskin?
Besarnya ketergantungan masyarakat miskin terhadap sektor pertanian menjadikan sektor ini penting untuk mendapatkan prioritas dalam upaya pengentasan kemiskinan. Meski demikian, kita melihat pertumbuhan sektor pertanian terus menurun dari tahun ke tahun yang secara tidak langsung menunjukkan produktivitas yang sangat rendah. Produktivitas yang rendah ini menyebabkan pendapatan per kapita sektor pertanian paling rendah jika dibandingkan sektor lainnya. Rendahnya produktivitas ini disebabkan oleh banyak hal. Salah satu penyebab utamanya adalah rendahnya harga produksi petani. Selain rendahnya nilai jual produk pertanian, petani juga “dihantui” oleh biaya produksi yang tinggi, sulitnya mendapatkan pupuk subsidi dan berbagai alasan lain.
Upaya Jangka Panjang
Dengan gambaran orang miskin Babel yang sebagian besar tinggal di perdesaan, menjadi buruh tani, buruh serabutan, dan tenaga kerja serabutan di perkotaan. Akankah orang-orang miskin tersebut menjadi produktif ketika dibagi mesin jahit, diberi alat-alat pertanian, dibagi bibit, diberi modal untuk menjadi pedagang, diberi kesempatan untuk membuka industri kecil perdesaan, atau diberi gerobak untuk berjualan bakso keliling? Kita beri segala macam jenis pancing, apa pun jenis pancing itu, mata mereka masih tetap akan kabur untuk melihat di mana sesungguhnya lubuk ikan tersebut berada. Diberi pancing pun belum tentu akan berarti, apalagi kalau hanya diberi uang bantuan, seketika akan habis untuk sekadar makan dan bahkan untuk memenuhi keperluan pengeluaran sesaat.
Dalam konteks inilah, paket program pengentasan kemiskinan dalam beberapa hal, terkesan kurang memadaí untuk dapat mengeluarkan si miskin dari jebakan kemiskinan. Mereka yang menangkap program itu adalah kelompok masyarakat yang tidak miskin tetapi belum kaya. Tengok misalnya program-program seperti pembiayaan peningkatan jalan desa, pembangunan rehabilitasi saluran irigasi, dan bantuan peralatan untuk kegiatan ekonomi produktif, hampir semua paket tersebut tidak akan langsung dapat menyejahterakan masyarakat miskin. Mereka yang semula belum mampu membeli kendaraan roda dua, kini jutaan motor dan mobil baru memenuhi jalan-jalan di kota dan desa akibat peningkatan kesejahteraan kelompok yang semula masih kekurangan, tetapi bukan miskin. Sementara itu, mereka yang benar-benar miskin terus tercecer di belakang: the last, the lowest, the least and the lost.
Bantuan sosial untuk penduduk miskin memang diperlukan untuk menghindarkan mereka yang berada di sekitar garis kemiskinan agar tidak masuk dalam kelompok miskin Namun, untuk mengentaskan kemiskinan dalam jangka panjang, pemerintah harus memprioritaskan pembangunan SDM melalui pendidikan. Sampai saat ini, pemerintah baru menjalankan perannya memprioritaskan pendidikan melalui kebijakan wajib belajar, penambahan anggaran pendidikan, pemberian bantuan pendidikan, dan lain sebagainya. Diperlukan terobosan baru bagi “si miskin” agar mereka keluar dari lingkaran setan kemiskinan. Memang, sektor pendidikan bersifat investasi yang hasilnya tidak bisa dilihat outputnya secara langsung atau instan. Dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat menikmati hasil kerja keras pemerintah saat ini.
Upaya pemerintah melalui program-programnya sudah cukup bagus, akan tetapi diperlukan pengawasan yang lebih ketat dalam pelaksanaannya. Juga, partisipasi dari semua kalangan untuk turut serta membantu pelaksanaan program tersebut agar berjalan tepat sasaran. Pembangunan sumber daya manusia merupakan kunci untuk mengatasi masalah kemiskinan.

Statistisi Ahli Muda
BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung