Kontribusi Statistik dalam Pesta Demokrasi

Menjelang Pemilu 2019 adu gagasan caleg dan capres terkait dengan berbagai isu semakin digencarkan. Penggunaan statistik mewarnai pesta demokrasi 2019. Data statistik bakal digunakan oleh politisi dalam debat atau dialog calon sebagai bahan mengkritisi lawan politik, atau menjadi ajang menentukan visi misi, serta memamerkan arah kebijakan berbasis data. Dengan berbagai sudut pandang, semua calon legislatif atau calon presiden memberikan data dan ditanggapi dengan berbagai analisis. Namun, ada hal yang memprihatinkan. Ketika data tersebut dibelokkan atau diinterpretasikan tidak sebagaimana mestinya. Data salah diinterpretasikan dan hanya mempertimbangkan keuntungan bagi pihak tertentu. Hal ini sangat berbahaya, karena interpretasi itulah yang akan digunakan untuk membentuk opini dalam menentukan pilihan. Bagi pihak terpilih interpretasi tersebut akan digunakan pedoman kebijakan ketika mereka menjabat.

Dalam tataran politik praktis, statistik memang memberikan kontribusi besar dalam konteks perencanaan, pelaksanaan, pengorganisasian serta evaluasi. Berkembangnya organisasi politik yang semakin beragam menuntut proses pengelolaan organisasi politik perlu dilakukan secara rasional dan statistik cenderung dipahami sebagai salah satu alat ukur orgnisasi tersebut. Bahkan dalam melakukan kompetisi dengan organisasi politik lainnya dalam konteks politik praktis akan banyak menggunakan angka statistik dan metodenya untuk membuat manuver baik dalam melemparkan isu maupun menangkis isu. Statistik yang sebelumnya banyak dipergunakan dalam teknelogi periklanan guna memengaruhi perilaku membeli dalam konteks demontration effects juga telah diserap oleh organisasi politik untuk memengaruhi perilaku memilih konstituen.

Akhir-akhir ini, dengan memperhatikan perkembangan dialog ditelevisi, internet, media cetak maupun media sosial, kita menyaksikan kebiasaan beberapa kalangan mengumbar bahasa verbal yang sarat dengan berbagai kepentingan. Banyak pembicaraan yang tidak jelas pijakannya dan entah kemana arahnya. Padahal, dengan menggunakan data statistik, seseorang akan lebih terbantu, masalah yang dikemukakan akan lebih jernih dan tampak jelas ia memang menguasai persoalan.
Bukankah kita sangat menikmati setiap kali mengikuti debat televisi para politisi di negara maju? Publik begitu menikmati bagaimana Obama seakan-akan hafal semua angka statistik yang terkait dengan kinerja sosial-ekonomi Amerika. Dari fakta-fakta statistik itulah Obama berpijak dan berusaha menawarkan solusi perbaikan kehidupan sosial ekonomi yang diyakini masyarakat akan lebih lebik dari kebijakan yang ditawarkan oleh George Bush. Barak Obama sangat menguasai data statistik dan mampu menerjemahkannya dengan benar.

Lembaga Statistik yang Independen

Statistik dengan segala bentuk produk dan sifat “bawaannya” dapat diibaratkan bagai sebuah pisau tajam. Akan sangat bermanfaat bagi orang yang bertanggungjawab, sebaliknya dapat mencelakakan apabila dikuasai orang yang tidak bertanggungjawab. Tentu saja karena aspek manfaatnya yang lebih menonjol bagi kehidupan masyarakat, maka dibentuk sebuah lembaga independen yang khusus menagani masalah statistik. Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) adalah lembaga independen milik publik yang dimaksud.
Untuk memenuhi rekomendasi PBB agar setiap negara menyelenggarakan sensus penduduk secara serentak, pemerintah RI memberlakukan UU No. 6 Tahun 1960 tentang Sensus sebagai pengganti Volkstelling Ordonanties 1930. Kemudian dalam rangka memenuhi kebutuhan bagi penyusunan perencanaan pembangunan Semesta Berencana, pada 26 September 1960 Pemerintah RI memberlakukan UU No.7 Tahun 1960 tentang Statistik sebagai pengganti Statistiek Ordonantie 1934. Pada Agustus 1996 Presiden kala itu, menetapkan tanggal diundangkannya UU No. 7 Tahun 1960 tersebut sebagai “Hari Statistik” yang dilaksanakan secara nasional. Alasannya, bahwa kelahiran UU tersebut merupakan titik awal bagi bangsa Indonesia dalam mengisi kemerdekan di bidang statistik yang selama ini diatur berdasarkan sistem perundang-undangan kolonial, yang kemudian Pemerintah RI menetepkan UU No.16 Tahun 1997 tentang Statistik sebagai pengganti UU No.6 dan 7 Tahun 1960 dan penetapan nomenklatur Biro Pusat Statistik menjadi Badan Pusat Statistik.

Apa jadinya andaikata di suatu negara tidak ada lembaga independen yang ditugasi menyusun indikator makro sosial ekonomi. Pembangunan bangsa akan menjadi seperti kehilangan arah. Menyerahkan kepada pihak swasta yang cenderung profit oriented kemungkinan justru kurang efektif, karena produk-produk statistik berupa indikator makro, lebih bersift public goods yang dekat dengan market failure (kegagalan pasar).

Pentingnya lembaga ini, terbukti produk-produknya termasuk yang paling awal mengglobal, dan mempunyai standar keterbandingan internasional. Di tingkat internasional, Bank Dunia misalnya dapat menyusun kategorisasi negara-negara miskin, sedang dan kaya. Bank Dunia juga dapat menyusun Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) antarnegara, dan masih banyak lagi indikator makro yang secara internasional digunakan sebagai acuan.

Hanya saja karena produknya yang lebih bersifat makro, maka penghargaan yang diberikan juga masih terbatas dari pihak-pihak yang berkepentingan dengan indikator tersebut, dalam hal ini pemerintah. Sayangnya, sejauh ini penghargaan dari pemerintah juga masih bersifat retorika.

Harus mempelajari seluk beluk angka statistik agar bisa memahaminya dengan benar

Indikator makro terkini yang dihasilkan BPS dan populer di kalangan masyarakat Indonesia yaitu pertumbuhan ekonomi, inflasi, kemiskinan, pengangguran, Indeks Pembangunan Manusia, dan gini rasio Selain itu, BPS juga menghasilkan data-data strategis terbaru seperti Indeks Demokrasi Indonesia (IDI), Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK), Indeks Kebahagiaan dan lain-lain. Popularitas indikator-indikator ini tidak lepas dari pro-kontra tanpa henti. Tidak jarang statistik menjadi “kambing hitam” karena angka yang dihasilkan tidak memuaskan pihak tertentu. Bahkan tidak jarang BPS dituduh telah diintervensi. Namun, seperti dapat ditebak, nada komentar yang muncul sering hanya mencerminkan peran seorang komentator, dan hanya sedikit yang didasarkan pada pertimbangan profesional secara murni. Proses pembangunan yang secara intens dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha sangat memerlukan indikator makro untuk merencanakan, mengevaluasi, serta mencari kiat-kiat strategis yang dapat memberikan percepatan pembangunan.

Darren Huff menulis buku yang sangat terkenal “How to Lie with Statistics”. Dalam buku tersebut Huff tidak mengatakan bahwa data statistik tidak bisa dipercaya. Inti yang ingin ia sampaikan adalah jika kita membaca data atau grafik statistik, kita harus berhati-hati. Anda harus mempelajari dulu seluk beluk angka tersebut agar bisa memahaminya dengan benar. Jika tidak, pemahaman kita akan keliru.

Bagi pengguna data dituntut tekun sebelum menggunakan data dalam analisis atau bahasan yang akan dilakukan. Belum semua pengguna data mau mencermati asal muasal, konsep definisi/klasifikasi, serta tata cara pengumpulan data yang digunakan. Walau proses tersebut tak dimaksudkan untuk membuat pengguna data menjadi ahli statistik, namun pengetahuan latar belakang data akan sangat membantu dalam proses analisis. Bahkan tingkat keraguan terhadap validitas suatu data yang digunakan akan terjawab.

Siapapun tidak dapat lagi bermain-main dengan data, karena manipulasi data akan sangat fatal akibatnya bagi pembangunan negeri ini. Masyarakat yang menjadi responden harus paham bahwa memberi data secara semestinya merupakan aksi menolong diri sendiri dan menolong bangsa Indonesia secara keseluruhan. Data yang benar mungkin dirasakan “menyakitkan” bagi suatu pihak, akan tetapi di balik yang menyakitkan itu mengandung hikmah dan manfaat di kemudian hari. Seseorang memang dapat membuat kekeliruan dalam membaca angka-angka, namun kita harus bertekad, dengan statistika bermaksud menghindari kekeliruan yang mungkin terjadi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *