Beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merilis angka kemiskinan September 2018 yang turun 0,48 poin persen dibandingkan pada bulan Maret 2018. Angka kemiskinan Bangka Belitung pada bulan September 20018 mencapai 4,77 persen dari jumlah penduduk atau sebesar 69,93 ribu penduduk. Angka tersebut jauh di bawah angka Nasional yang sebesar 9,66 persen bahkan kemiskinan di Bangka Belitung menduduki urutan ke empat terendah di Indonesia. Apakah angka ini akan kembali turun di Maret 2019?
Ukuran kemiskinan yang digunakan BPS masih tetap dengan konsep kebutuhan dasar (basic needs approach) yang digunakan sejak tahun 1998 dimana kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur menurut garis kemiskinan (makanan dan bukan makanan). Garis kemiskinan makanan dilihat dari nilai kebutuhan minimum makanan yang setara dengan 2.100 kilo kalori per kapita sehari. Sementara garis kemiskinan non makanan dinilai dari minimum pengeluaran untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan pokok non makanan lainnya. Sehingga penduduk memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan masuk dalam kategori penduduk miskin.
Pada September 2018 garis kemiskinan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah 664.120 rupiah per kapita/bulan meningkat dari bulan Maret 2018 yang sebesar 631.467 rupiah per kapita/bulan. Garis kemiskinan ini 72,59 persen disumbang oleh komoditi makanan dan 27,41 persen dari komoditi non makanan. Pengeluaran untuk komoditi makanan di dominasi oleh beras yang mempunyai kontribusi tertinggi terhadap pengeluaran makanan di susul oleh rokok kretek filter sedangkan untuk komoditi non makanan didominasi oleh pengeluaran untuk perumahan.
Interpretasi suatu indikator haruslah dilihat dari beberapa aspek sehingga dapat dijelaskan secara lebih lengkap. Ibarat sebuah ukuran sepatu, bila dijadikan indikator untuk menggambarkan tubuh manusia tanpa melihat indikator lain tentulah akan menyesatkan. Misalnya kita yakin bahwa orang yang mempunyai ukuran sepatu nomor 43 maka dapat digambarkan pemakainya adalah orang yang tinggi dan besar, ternyata pemakainya adalah yang orang kurus dan tinggi. Untuk itu agar gambaran tidak terlalu jauh meleset maka selain nomor sepatu kita juga membutuhkan data berat badan dan tinggi badan pemakai agar kita dapat memberikan gambaran yang lebih mendekati mengenai bentuk tubuh pemakai.
Demikian juga yang terjadi dengan angka kemiskinan yang ada di Provinsi Bangka Belitung, sekilas penurunan 0,48 menjadi prestasi yang dibilang bagus dimana besaran penurunan tersebut merupakan besaran penurunan terbesar kedua di Indonesia. Namun bila kita lihat P1 (Indeks Kedalaman Kemiskinan) yang mengindikasikan jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan dan P2 (Indeks Keparahan Kemiskinan) yang mengindikasikan ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin justru mengalami peningkatan. Angka P1 mengalami peningkatan dari 0,685 pada Maret 2018 menjadi 0,725 pada September 2018 sementara P2 naik dari 0,139 pada Maret 2018 menjadi 0,153 pada September 2018.
Kondisi turunnya P0 dan naiknya garis kemiskinan, P1 dan P2 memberikan indikasi bahwa turunnya kemiskinan ini adalah karena perubahan status miskin pada masyarakat miskin yang berada di sekitar garis kemiskinan. Atau dapat dikatakan perubahan masyarakat miskin ke tidak miskin ini ada dikalangan masyarakat rentan miskin. Sementara kalangan masyarakat sangat miskin menjadi semakin jauh dari garis kemiskinan dan akan semakin sulit untuk dapat keluar dari status miskin.
Hal ini tentunya akan menjadi sangat riskan, perubahan tersebut menjadi semu karena masyarakat yang rentan miskin akan sangat mudah menjadi miskin kembali, sehingga P0 akan menjadi naik kembali. Sementara garis kemiskinan juga akan terpengaruh oleh harga-harga komoditi dan berpeluang untuk semakin naik. Kondisi tersebut seyogyanya menjadi pemikiran bagi pemerintah daerah untuk membuat program yang tepat bagaimana mempertahankan masyarakat rentan miskin ini agar tetap pada posisinya (di atas garis kemiskinan) dan juga mendongkrak masyarakat sangat miskin untuk dapat bergerak mendekati garis kemiskinan. Program-program jangka pendek akan menjadi sangat berarti (pemberian bantuan langsung misalnya) karena akan menjadi stimulan instan yang akan mampu memperkecil kesenjangan pengeluaran diantara masyarakat miskin terhadap garis kemiskinan. Juga pengendalian harga bahan komoditi makanan dan non makanan terutaman yang mendominasi terhadap pengeluaran. Sementara untuk jangka panjang pembukaan lapangan pekerjaan, peningkatan pendidikan dan pengendalian harga dapat menjadi prioritas dalam pengendalian kemiskinan.
Kemiskinan tidak dapat diselesaikan dengan secara parsial namun harus secara menyeluruh seperti apa yang disampaikan oleh Barack Obama “If poverty is a disease that infects the entire community in the form of unemployment and violence, failing schools and broken homes, then we can’t just treat those symptoms in isolation. We have to heal that entire community.” (Jika kemiskinan adalah penyakit yang menginfeksi seluruh komunitas dalam bentuk pengangguran dan kekerasan, kegagalan sekolah dan rumah yang berantakan, maka kita tidak bisa hanya memperlakukan gejala-gejala itu secara terpisah. Kita harus menyembuhkan keseluruhan himpunan itu).
Semestinya kemiskinan bukan hanya menjadi tugas pemerintah semata namun menjadi tugas semua elemen masyarakat, salah satunya adalah dengan menumbuhkembangkan kehidupan bermasyarakat yang menjunjung tinggi budaya gotong royong dan saling tolong menolong. Dengan budaya gotong royong dan tolong menolong akan meningkatkan rasa peduli kita terhadap masyarakat sekitar yang membutuhkan yang akan mengangkat derajat kehidupannya. “Seandainya kemiskinan berwujud manusia, niscaya aku akan membunuhnya” (Khalifah Ali bin Abi Tholib).
Statistisi Ahli Madya
BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung